Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2011

Gara-gara Potong Rambut

  “Dasar goblok, tidak sadar diri, ngaca dong!” Saya dicerca sedemikian rupa oleh sahabat saya sendiri. “Mana mungkin ia cinta padamu, wong kenthir (orang gila), dia itu siapa, kamu siapa. Jangan naif dong!” kalimat yang terakhir itu, jelas saya tidak mengerti artinya. Dicerca sedemikian rupa itu, saya tidak bereaksi apa-apa, tetap duduk sambil membuka lembar demi lembar buku yang saya pegang tanpa sama sekali ada maksud untuk membacanya. Saya maklum betapa besar rasa sayang sahabat saya itu, kepada saya. Tapi dasar saya yang katanya goblok tidak pernah bisa benar-benar menyadarinya. Sudah berkali-kali ia berlaku demikian kepada saya dan inti kata-katanya selalu mudah ditebak. Ia menyayangkan umur saya yang sudah tua (menurutnya) yang tidak segera menemukan calon istri dan bahkan terbentur kenyataan selalu ditolak mentah-mentah oleh perempuan. Kalaupun tidak ditolak pasti ditinggal kawin. 

Harap Disiram

Kamar kecil, toilet, WC atau apa pun namanya, tidak hanya berfungsi sebagai kamar pribadi memenuhi panggilan jiwa semisal pipis dan ee’ . Tapi ternyata fungsinya lebih dari yang pernah kita tahu. Toilet juga merupakan kamar pribadi untuk mengguratkan isi jiwa dan kepenatan isi kepala. Saya tidak sedang mengada-ada, dalam hal ini saya yakin anda tidak akan kesulitan mencari buktinya, terlebih zaman sekarang. Sebab setiap bangunan memiliki kamar pribadi ini, sekolah, kampus, hotel, kos-kosan, rumah-rumah di kota dan juga rumah-rumah di desa, hampir seluruhnya memiliki ruangan khusus ini. Meski masih saja sering kita lihat ada yang suka pipis di pojok ruangan atau pinggiran jalan, itu bukan berarti rumah mereka tidak memiliki toilet. 

Kabar dariTransmigran

Ia adalah warisan nenek moyang Bangsa Timur, Indonesia khususnya. Warisan   ini pernah tenar berpuluh tahun lamanya, tepatnya semenjak Soeharto menjadi presiden. Bahkan pernah pula menjadi nama kabinet semasa pemerintahan Megawati, kabinet Gotong Royong.  Saya menyebutnya sebagai sebuah warisan sebab gotong-royong bukanlah hasil rumusan ilmuwan, melainkan lahir dari rahim dialektis logika, etika dan estetika nenek moyang tentang bagaimana harus berhubungan dengan Tuhan, manusia dan alam. Bahkan   ilmu-ilmu sosial, antropologi kontemporer belum mampu melahirkan konsep-konsep yang lebih ‘ mak nyos’ dari itu.    

Saya Bisa Menjadi Kekasih

Sebulan yang lalu, pada tanggal yang sama di tempat dan waktu yang berbeda. Untuk mengisi malam yang saya rasa begitu suntuk. Saya iseng-iseng sms an dengan teman perempuan saya nun jauh di seberang pulau sana. Sebagai catatan, teman perempuan saya itu sama sekali belum pernah kulihat wajahnya. Awalnya biasa-biasa saja, saling bertanya kabar terakhir dan saling memberitahu kegiatan masing-masing. Kemudian melebar ke berbagai hal lain sampai kepada pertanyaan ‘sedang jomblo atau tidak?’ ‘masih membuka lowongan tidak?’ dan kalimat lain sebagaimana perbincangan dua muda-mudi. Setelah ber sms ke sana-kemari. Entah berangkat dari sudut mana, sampailah kemudian saya bilang bersedia untuk menjadi kekasihnya, bersedia menyayanginya juga mencintainya, meski belum pernah ketemu. Artinya saya nekat, ibarat orang main judi nasib-nasiban. Padahal kalimat itu saya kirimkan hanya berdasar iseng belaka. Tidak benar-benar serius. Tapi sejurus kemudian, demi membaca balasan darinya, timbul kekhawa

Oleh-oleh dari Ngayogyakarta Hadiningrat

Saya tidak membawa oleh-oleh apa pun ketika saya kembali ke Palembang dari Jogja. “Apa pun” yang saya maksudkan itu adalah barang-barang yang umumnya dibawa oleh mereka yang pulang dari Jogja. Semisal blangkon, kaos DAGADU, baju batik dan barang lain ‘khas Jogja’ , juga makanan .  Bukan niat saya untuk tidak membawa oleh-oleh, namun ‘dana asmara’ yang saya miliki tidak mencukupi untuk beli barang-barang begituan. Bisa beli tiket bis saja syukurnya sudah tidak karuan. Boro-boro mau beli segala macam oleh-oleh. Jadi, ketika teman-teman menanyakan oleh-oleh, saya pura-pura tidak dengar. Meskipun tidak bawa barang, saya punya oleh-oleh cerita, lumayan daripada tidak punya oleh-oleh sama sekali.

Cerita dari Bangku Kuliah

Ini tulisan saya yang terlewat dan belum di upload. Saya bersama istri sengaja selalu menyempatkan diri berbelanja pada hari-hari efektif, maksudnya bukan pada hari libur semisal malam minggu. Hal itu kami lakukan bukan tanpa pertimbangan. Maklum, super market kalau pada hari libur ramainya minta ampun.   Itu alasan yang pertama. Kedua, pada hari-hari libur antrian di kasir akan begitu panjang dan tentunya membutuhkan waktu lama. Sebab budaya kita ngantri bukanlah berjejer melainkan bergerombol. Semangat untuk saling mendahului begitu kentara. Belanja hanya butuh waktu lima belas menit, ngantrinya setengah jam. Ketiga, ketika berbelanja kami tidak perlu berdesakan atau bahkan berebutan dengan pembeli lainnya. Lebih leluasa memilih barang yang hendak kami beli dan rasanya lebih luas.