Hari-hari Mengesalkan




Hari-hari yang saya lalui begitu padat sekaligus mengesalkan. Sejak sidang tesis I tanggal 12 januari kemarin. Hari-hari berikutnya saya sibuk mengejar-ngejar dua penguji untuk perbaikan tesis. Ini sangat penting sebab sebelum dua penguji kasih tanda tangan tanda setuju, sidang  II belum bisa dilaksanakan.
Mengesalkan satu. Pak Firdaus susah sekali ditemui. Janji setiap jum’at pagi bisa ketemu di kantornya, di ruang dosen tarbiyah. Namun nyatanya sudah berapa kali jum’at, beliau tetap tidak ada di kantornya. Berulang kali saya mencoba hubungi Hpnya tapi tidak pernah diangkat, di sms juga tidak pernah membalas. Padahal beliau sendiri yang bilang, kalau sudah ada di kampus telpon bapak saja. Toh nyatanya tetap saja tidak ada respon apa-apa.
Kepikiran untuk mendatanginya ke rumah, meski beberapa sahabat mencoba untuk mencegah, akhirnya saya tetap saja ke rumah beliau. “Nanti temui saya di kampus saja,” meski hanya itu yang saya dapatkan, namun bisa mengurangi stres.
Mengesalkan dua. Pak Hatamar juga katanya bisa ditemui setiap hari jum’at. Saya katakan bahwa pak Firdaus juga bisa ditemui setiap hari jum’at. Beliau bilang setelah menghadap pak Firdaus saya bisa langsung ke kantornya. Toh berapa kali jum’at beliau juga tidak ada di kantor. Jum’at pertama ketika saya hubungi lewat telepon beliau bilang sedang sibuk tak bisa diganggu. Jum’at kedua beliau terserang demam dan tidak masuk kantor. Jum’at berikutnya saya langsung ketok pintu kantornya, beruntung beliau ada di dalam. Lebih kurang lima belas menit saya bimbingan dengan belaiu.
“Lho, kok yang ini begini. Harusnya yang ini begitu. Terus kenapa yang itu begitu. Kan seharusnya yang itu begini....bla bla bla dst,” itu Pak Hatamar yang ngomong.
Awalnya saya jawab dengan argumen yang saya nilai sudah bagus dan mateng. Toh masih mentah juga. Akhirnya, saya ngalah sebab memang tak bisa membantah lagi. Saya juga tahu persis, jawaban saya kurang mengenai sasaran, hanya saja saya tak mau menyerah begitu saja.
Mengesalkan, ya memang mengesalkan. Tapi harus bagaimana lagi. Kalau saya tidak mau melewati bagian yang mengesalkan ini, berarti saya juga tidak mau lulus. Harus super sabar,(.....)tidak kemana2. Akan setia menunggu. Love u..... kata pacara saya yang cantik di sms. Titik-titik dalam kurung itu nama pacar saya. Ah, pengen tahu saja...Biar jelek-jelek gini saya punya pacar lho, cantik menarik menawan hati kinyis-kinyis dll, meski kadang kala juga mengesalkan. Sekali lagi, kadang-kadang. He he he he piss....kadang-kadang
Di tengah kekesalan tersebut, saya teringat pada suatu cerita. Seorang pemuda dari Yogyakarta yang sedang gandrung dengan ilmu-ilmu keagamaan bermaksud sowan ke Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin, Mursyid Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya Jawa Barat atau akrab disapa Abah Anom, untuk bertanya tentang banyak hal yang berhubungan dengan hablun min allah dan hablun min annas.
Ia pun harus menginap semalam di sana bersama beberapa orang yang ingin sowan. Tentu saja dengan maksud dan tujuan sendiri-sendiri. Pagi harinya ia dan beberapa orang tersebut baru bisa sowan langsung ke Abah Anom.
Abah Anom menemui orang-orang itu di ruangan biasa ia menyambut tamu. Satu persatu secara bergiliran mereka bertanya. Belum lagi tiba giliran pemuda dari Yogyakarta itu bertanya, Abah Anom langsung bertanya. “Siapa yang datang dari Yogya.” Lantas ia pun menunjukkan tangan. “Yang dari Yogya langsung pulang saja ya,” kata Abah Anom.
Meski sedikit kesal sebab ia merasa belum mendapat apa-apa dari Abah Anom, akhirnya ia pun segera meluncur kembali ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, pemuda itu masih menyimpan kekesalan dan bingung.
Belum hilang itu semua, datang seorang mahasiswi yang memintanya membantu menyelesaikan masalah skripsinya. Skripsinya harus diserahkan besok pagi dan file skripsinya eror tak bisa dibuka, sementara barang itu belum diprint out. Keesokannya masalah itu pun teratasi.
Pagi itu juga ia baru menyadari ‘pengusiran’ Abah Anom kemarin bahwa keberadaannya di Yogyakarta lebih membawa manfaat daripada ia berlama-lama di rumah beliau.
Dari cerita singkat itu saya bisa ambil pelajaran, barangkali memang saya akan lebih bermanfaat dalam situasi dan kondisi semacam ini daripada saya cepat selesai. Allah memiliki pertimbangan sendiri yang tidak harus saya ketahui. Kalau kata mas Imron (Mas Imron itu penulis dan pelaku sastra di palembang. Ia juga ketua AJI palembang), Allah tahu tingkat kepantasanmu saat ini harus berdiri di mana. Kita wajib berusaha, Allah saja yang punya hak untuk menentukan berhasil atau tidak.
Selanjutnya, saya harus merevisi tesis sesuai dengan ‘petunjuk’ dosen pembimbing. Sudah lebih dari satu bulan soalnya....Hiyaaaaat...semangat dan terus berjuang melewati hari mengesalkan (oh, tidak mengesalkan lagi ding!) seperti ini. (5 Februari 2011)
Note: Sebenarnya, poto-poto untuk tulisan ini sudah saya siapi. Tapi waktu mau diunggah malah ngilang ga tahu di mana rimbanya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR