JEJAK PENYAIR




Judul                     : Stanza Lara (kumpulan puisi nurhayat arif permana)
Penulis                 : Nurhayat Arif Permana
Penerbit              : Ladang Pustaka. Yogyakarta. Cet. Pertama, 2011
Halaman              : 9+72
              Puisi atau apapun jenis karya sastra lainnya-bisa- menjadi penanda jejak sejarah kehidupan penulisnya. Manusia  merekam hari-hari yang dilalui, merekam orang-orang yang dicintai, merekam sisi gelap terang lingkungan sosialnya dalam konteks apa saja, melalui syair, puisi, novel, patung, lukisan dan sebagainya.
             Nurhayat Arif Permana (NAP), penyair Palembang menandai jejak kehidupan yang dilaluinya melalui pintalan kata-kata: puisi. Qaris Tajudin, salah seorang redaktur Koran Tempo pernah menuliskan, setelah manusia berhasil menemukan kata untuk mewakili setiap sesuatu, manusia mulai bosan dan mencari cara pengungkapan lain yang lebih kreatif. Dan puisi-puisi dalam buku ini adalah bagian kecil dari proses kreatif NAP dalam bersastra.  Sebab selain menulis puisi, NAP juga menulis beberapa karya sastra  seperti cerpen dan esai di sejumlah media massa. Stanza Lara ini adalah buku kumpulan puisinya yang kedua setelah Stanza Air Mata (2003).

           Kecintaannya pada sastra yang secara genetikal ia warisi dari sang Ayah, dipupuk pengalaman menulis sebagai jurnalis lebih dari separuh usianya membuat NAP gampang menterakan jejaknya tanpa berlama-lama memilih dan menimang kosakata untuk bisa melukiskan keadaan, dan suasana.
           Simak Metamorfosis (1,2,3,4,5), Lost in Happiness, Lost in Movement, Lost in Trust, Lost in You, Lost in Sense, Lost in World, Lost in Mind, Lost in Control, kita dapat melihat betapa gampang NAP menterakan segala hal dan peristiwa yang melintas di kehidupannya. Mencermati itu, kita boleh curiga; bisa jadi sudah ribuan atau bahkan puluhan ribu puisi yang dilahirkannya. 
          NAP yang  kerap dijuluki Penyair Musi juga seorang penyuka sejarah. Jejak itu dapat ditemukan  dalam Percakapan dengan Dapunta Hyang. Dalam percakapannya itu, NAP juga mengenalkan kita pada sejumlah julukan atau nama lain Dapunta Hyang. NAP secara detail juga berhasil menggambarkan sosok         Dapunta Hyang  dan segala asesoris yang dikenakannya: Janggut dan misaimu panjang sampai ke dagu. Sementara beberapa anak rambutmu terbang lepas dari gelung tebal dan kaku…. Kulihat kusam kulitmu dengan parutan bekas jerawat serta beberapa sayatan kecil bekas luka.Tubuhmu sedang, dengan beberapa gelambir lemak di bawah perutmu yang terbuka. …suteranya yang putih kekuningan melambai dipagut angin.
           Dalam puisi Percakapan dengan Dapunta Hyang ini, kental sekali nuansa keprihatinan tentang epistemologi penulisan sejarah dan pengetahuan sejarah generasi masa kini: “… Apa yang nanti dibicarakan cucu-cucuku tentang kehadiranku, hanyalah sepenggal cerita tentang perang. Aku Sang Dapunta, dicatat sebagai raja yang haus peperangan.”
           Menarik apa yang ditulis Hanna Fransisca, penyair dan prosais, dalam endorsmennya untuk buku ini. Jika puisi adalah suara hati yang paling jernih, maka Nurhayat Arif Permana mengajak kita mendengarkan suara-suara itu. Ada detak hati risau buat Ibu yang terbaring sakit, ada kasih sahabat sejati…yang digumamkan lirih tapi menikam.
           Jejak hati risau buat Ibu yang sangat dicintainya itu dapat dilihat dalam Cerita Tentang Ibu (1,2,3,4,5,6,7). NAP merasa khidmat baktinya kepada sang Ibu belumlah usai, pun tatkala sang Ibu sudah wafat. Simak dalam pengantarnya: …aku ingin menulis puisi  tentang Ibu banyak-banyak, kalau perlu sampai 1000 halaman…. Inilah bakti kecilku untuk Ibu, sedikit puisi yang mungkin tak laku bagi Tuhan. Tuhan tidak butuh puisi dan mungkin Ibu akan bertanya-tanya; untuk apa anaknya menuliskannya puisi. Bakti kecil yang ia sebut itu menempati  5 halaman, dari keseluruhan halaman buku ini.
Jejak-jejaknya selama beberapa tahun di Pulau Bangka juga tak luput ia terakan dalam buku ini. Aku Ingin, Simpang Empat Kampung Dalam, dan Dongeng Sebuah Jalan. Puisi yang disebut terakhir diperuntukkan bagi sahabatnya Ian Sancin, seorang sastrawan Bangka Belitung. Simak salah satu baitnya:  Selalu ada yang tersimpan dalam diri saya, meski saya telah jauh; mencari dunia yang saya impi-impikan itu. Tetapi apakah dia masih berdiri di jalan itu, mengenang sesuatu yang pernah terjadi antara kami. Barangkali saya tak harus membayangkan bau dan warna cat yang memukau saya pada saat pertama kami bertemu. Karena kami sama pendusta; jadi biarlah kelak kamu bisa menceritakan kebenaran dongeng itu. Aok, ok?
           Keseluruhan dari buku kumpulan puisi ini adalah suara-suara ‘lirih tapi menikam’ yang digumamkan NAP dengan penuh daya cipta dan pesona. Terlepas dari itu semua, sebagaimana karya sastra lainnya, puisi dalam buku ini pun ‘merdeka’ untuk ditafsirkan dari sudut manapun.
           Dan pusi-puisi dalam buku ini bisa menjadi peta jejak NAP, yang menurut  Linda Christanty; Sajak-sajak lirik Nurhayat hilir-mudik antara masa lalu dan masa kini. Apapun itu, inilah jejak Penyair Musi yang juga kerap dijuluki Penyair Flamboyan. Sebagaimana pesan NAP kepada putra-putrinya: semoga buku kecil ini bisa jadi penanda jejak ayah kalian.

 Saiful Anwar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi