Berdarah-darah di Sidang Tesis I




Sejak dua hari yang lalu rasa cemas terus menghantuiku. Tepatnya sejak pengumuman ujian tertutup untuk saya sudah dijadwalkan. Hari Rabu 12 Januari 2011 pukul 10.00WIB bertempat di ruang sidang lantai III PPS IAIN Raden Fattah.  Dr Firdaus Basuni sebagai penguji II dan Prof Hatamar Rasyid penguji I. Ketua sidang Prof Ris’an Rusli dan sekretaris sidang Dr Amir Rusydi.

Saya sendiri tidak tahu persis darimana datanganya rasa cemas itu. kalu dipikir-pikir memang lucu. Sebelum dapat jadwal, saya terus mendesak petugas bagian akademik Yuk Lina dan Kak Zul untuk segera mengatur jadwalnya. Sebab tesis saya sudah kelar sebelum akhir tahun 2010 lalu. Pikir saya, semakin cepat semakin baik.

Nah, sekarang sudah ditetapkan jadwalnya tapi malah was-was, cemas dan kalut. Bagaimana kalu tidak lulus, saya tidak mau mengulang lagi, saya igin segera menikah dan kalimat lainnya seliweran di kepala. Kalau pikiran cemas dan kalut, saya selalu dilanda sakit perut dan mencret. Itu juga yang saya alami selama dua hari, siang malam!

Saya sempat curhat ke sahabat saya Santosa. Ia bilang saya dilanda stres. Salah satu upaya untuk mengurangi stres itu, ia menyarankan untuk mencari tahu siapa dan bagaimana adanya para penguji itu. katanya, supaya kita tahu harus bersikap seperti apa ketika berhadapan di ujian nanti. Dengan harapan supaya penguji mendapat perlakuan yang menyenangkan. Tapi saya pikir itu tak perlu, malahan nanti bakal menambah beban. Bagaimana tidak? Saya harus mereka-reka sikap, menerawang soal yang bakal diberikan dan merancang jawaban sesuai dengan selera penguji, sementara saya juga harus belajar untuk menguasai isi tesis. Ah! Apapun yang akan terjadi, terjadilah. Saya harus jujur, kalau bisa saya jawab akan saya jawab. Kalau tidak bisa saya akan tetap jujur “Saya tidak bisa, Pak.” Itu saja.

Pada saat ujian saya mengenakan jas hitam pinjaman ponakan saya Udin, celana dasar hitam yang biasa saya kenakan acara resmi maupun tak resmi, baju putih lengan panjang yang baru saya beli dua hari sebelumnya Rp99 ribu di PTC Mall.

Saat-saat menegangkan itu pun datang. Pukul 10.00 WIB saya masuki ruang sidang. Di sana sudah ada Prof Ris’an dan Dr Amir, dua penguji belum datang. Saya diminta untuk mempersiapkan power pointnya. Lima menit berlalu utak-atik ternyata laptop saya tidak mau konek ke proyektornya. Segera saja saya ke ruang perpustakaan untuk meminjam laptop milik kampus yang biasanya juga dipakai untuk menyajikan paparan.
“Maaf Kak Hasan, sekalian pinjam plesdisnya,” kata saya nyengir.
“Nah, kau. Pertanda dak beres ni,” jawabnya sembari menyerahkan plesdis. Saya tahu maksudnya cuma bercanda, namun kalimatnya sempat menambah kecemasan saya meski sejenak.

Belum usai mempersiapkan paparan, dua penguji sudah terlihat memasuki ruang sidang menenteng kopian tesis saya. Begitu siap, ketua sidang mempersilakan sekretaris untuk membacakan tata tertib sidang.
“Silakan paparkan tesis saudara,” kata pak Amir.

Saya segera laksanakan perintahnya memaparkan latar belakang masalah dan lainnya bla bla bla bla....dst.
Begitu selesai paparan, Dr Firdaus langsung hiaaaaaat..menyerang saya dengan pertanyaan-pertanyaan tak terduga, tepat di ulu hati. Dess..darah mucrat kemana-mana. Kepala saya dipenuhi bintang dan kicauan burung, linglung, badan saya limbung namun syukur tidak tersungkur. Kalimat yang sudah tersusun rapi di kepala buyar oleh serangan awal pak Firdaus. Hasil belajar saya mentah oleh ilmu pak Firdaus.Penelitian saya selama ini seolah-olah tidak menghasilkan apa-apa oleh tenaga dalam pak Firdaus. Ilmunya tinggi, tenaga dalamnya tinggi, jurus-jurusnya juga aneh dan jarang terlihat di dunia persilatan. (maaf, koleksi saya Wiro Sableng).

Serangan-serangan pak Firdaus begitu mematikan. Sekali dua kali saya bisa menangkis serangannya. Tapi jurus demi jurus yang diperagakan pak Firdaus semakin sulit diprediksi arah serangannya, tentu saja saya selalu lebih sering kena pukulan telak. Selama lebih dari satu jam serangan itu bertubi-tubi menghunjam saya. Ia pun undurkan serangan dan mempersilakan pak Hatamar menyerang saya.

Meski sudah remuk redam oleh serangan pak Firdaus. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, serangan pak Hatamar relatif bisa saya elak. Gerakannya lamban dan pukulannya pun tidak begitu mematikan. Nampaknya beliau sengaja tidak mengeluarkan tenaga dalamnya. Namun tetap saja sempat membuat saya kembali muntah darah.

Serangan pak Hatamar tidak berlangsung lama, kira-kira hanya 30 menit. Mungkin beliau iba melihat saya sudah kelimpungan bersimbah darah dan bahkan hampir tidak bisa melepaskan pukulan balasan. Beliau memang dikenal pendekar sakti dan penuh belas kasih.

Sejenak usai pertarungan itu berlalu, pak Ris’an meminta saya untuk keluar ruang sidang beristirahat. Sementara mereka ber empat berunding untuk memutuskan berapakah nilai yang layak untuk petarung tidak handal seperti saya.

Sebatang rokok Sampoerna Mild sudah selesai saya hisap, namun panggilan untuk memasuki kembali ruang sidang belum terdengar. Begitu saya ingin merokok lagi panggilan itu pun datang.
“Saya akan membacakan keputusan sidang dewan penguji yang ada di sini,” kata pak Amir.
“Nilai minimal untuk kelulusan di PPs IAIN Raden Fatah Palembang ini adalah 6,6. Setelah melihat jurus-jurus yang sudah saudara peragakan di sini tadi. Kami memutuskan untuk memberi nilai 6,7 dan anda dinyatakan lulus,” kalimat dari pak Amir itu yang saya tunggu-tunggu.
“Tapi dengan catatan, harap saudara perbaiki kembali tesis saudara dengan bimbingan dari dua penguji yang ada di sini. Dan kemudian untuk disidangkan kembali,” lanjutnya.

Sidang pun kemudian ditutup dan mereka kembali ke ruang kerja masing-masing. Sementara saya masih duduk termangu di situ cukup lama. Saya memang terbanting-banting dan berdarah-darah hari itu. Namun setelah sidang itu usai, kecemasan yang menghantui sejak beberap hari lalu itu sirna. Demikian juga dengan mulas dan mencret yang saya derita, hilang begitu saja. Sekarang saya harus lebih giat berlatih, menguatkan tenaga dalam  dan menambah jurus-jurus baru.




Meski berdarah-darah dan dengan hasil nilai sangat pas-pasan namun teman-teman di kantor tetap menyambut dengan hangat. Bahkan sempat diadakan sesi foto-foto he he he he. Oh iya...pada saat sidang saya juga pakai songkok hitam. Itu hadiah dari adik ipar saya, Meni.
Selamat bertemu di sidang berikutnya. (Rabu, 12 Januari 2011)

Komentar

  1. skrng dah antai yo..
    gmn acra slnjutnya. entr trunkan jga jrus2 itu kpda q.. biar nmbah smngat untk kdpannya...
    slmat yo "smga skses kdpnnya,,,amin"

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR