Cerita yang Kuceritakan



Suatu hari aku didatangi seorang laki-laki setengah baya, kira-kira umurnya 30-35 tahun. Berbaju necis, jam tangan hitam melingkar di lengan kananya, bersepatu kinclong, membawa tas jinjing. Wajahnya juga bersih, rambut berbelah tengah dan nampaknya selalu memakai minyak rambut. Bau badannya pun wangi, aku mencium baunya dari tempat dudukku. Aku tahu persis ia memakai parfum merek Marlboro, aku sering juga menggunakannya. Kami duduk berhadapan, begitu dekat hanya terhalang oleh meja kerja ku.

Begitu di depanku ia sodorkan tangan bersalaman sembari menyebut namaku. Aku baru sekali melihatnya, tapi ia sudah tahu namaku. Di kantor tempatku bekerja, maupun di kampung tempat tinggalku, aku sama sekali tidak popular, bukan orang terkenal. Terang saja aku kaget bukan kepalang.
“Silakan duduk,” kataku.
“Apa yang bisa saya bantu, Pak?” tanyaku kemudian, setelah ia duduk.
Tanpa menyebut nama, laki-laki setengah baya itu pun kemudian bercerita seputar pekerjaannya yang hanya pedagang pakaian keliling. Aku hanya mendengar ia terus bercerita, walaupun dalam hati sebenarnya ingn ku potong saja apa yang ia inginkan. Sebab aku yakin ia datang bukan untuk bercerita. Lima menit kemudian, ia masih bercerita. Kali ini bercerita seputar keluarga, mulai dari bapak, ibu dan saudara-saudaranya.
“Apakah bapak sudah menikah?” tanyaku.
“Sudah, Pak. Anak saya dua dan yang satu sekarang sedang berada di rumah sakit,” jawabnya. Kulihat wajahnya berubah memelas penuh iba ketika menjawab pertanyaanku.
Belum lagi sempat ku bertanya, ia pun melanjutkan bercerita bahwa kedatangannya menemuiku di kantor, untuk meminjam uang. Katanya uang itu akan digunakan untuk membiayai pengobatan anaknya di rumah sakit.
“Ah…” aku mendesah dalam hati. Bukan kali ini saja aku ditemui orang seperti ini. Seingatku, sudah dua kali. Tapi kejadiannya sudah bertahun-tahun lalu, jika tak keliru tiga atau empat tahun lalu. Karenanya, begitu ia bicara soal ingin meminjam duit, ingatanku itu kembali lagi.
“Sialan, rupanya memang ia menunggu aku bertanya soal menikah tadi,” hatiku bergumam.
Sementara, ia masih bercerita soal anaknya yang sakit dan soal dagangannya yang akhir-akhir ini tak pernah laku.
Lelaki yang dulu pernah datang, berumuran kurang lebih sama dengan laki-laki yang datang kali ini. Begitu kutemui, ia langsung becerita seperti orang yang sudah lama berteman, nampak akrab sekali. Persis dengan yang dilakukan laki-laki yang datang kali ini. Tapi ujung-ujungnya meminjam uang. Aku tahu benar, ini adalah modus model baru bagi peminta-minta. Meski demikian, lelaki yang datang dulu itu masih kuberi uang, walaupun jumlahnya tak seperti yang diminta.
“Sekarang, dimana-mana orang berduit sudah bikin mall. Orang kecil seperti kita ini Pak yang jadi korban. Sistem ekonomi neoliberalis yang dianut negara benar-benar bikin kita sengsara. Benar kan, Pak?” ia coba meminta perhatianku. Sebab sejak ia bercerita soal anaknya yang sakit, aku memang tak lagi memperhatikannya. Aku pura-pura sibuk dengan laptopku.
“Sudahlah, Pak. Saya memang punya duit, tapi tidak bisa membantu bapak. Sekarang silakan bapak cari orang lain saja. Saya punya pekerjaan yang harus saya selesaikan,” jawab ku berdiri dan mempersilakannya keluar dari ruanganku.
“Maaf, Pak. Aku datang sekadar mencoba mengetuk pintu hati bapak untuk memberi pertolongan. Jadi tolonglah anakku, Pak. Bapak jangan menjadi orang jahat seperti orang-orang kaya yang membangun mall itu, Pak,” ia mencoba beragumen. Dalam hatiku, darimana orang ini belajar bicara dengan bahasa seperti itu. Sungguh tak cocok dengan pekerjaannya yang meminta-minta. Cara bicara, dan bahasa yang ia gunakan nampak lebih intelek. Tidak seperti lelaki yang juga pernah datang dahulu.
“Sekali lagi, silakan bapak minta tolong dengan orang lain saja. Saya tidak bisa menolong bapak. Silakan,” kataku. Kali ini sembari membimbingnya keluar ruangan.

***
           Itu cerita, saya ceritakan kembali. Itu cerita pengalaman sahabat saya, saya peroleh  beberapa hari lalu ketika kami terlibat dalam obrolan seputar angka pengangguran yang semakin tinggi. Kata sahabat saya, dalam waktu dekat angka pengangguran bakal bertambah lagi.
            “Sebentar lagi kan kelulusan siswa dan mahasiswa juga pada wisuda. Ah..selamat datang para pengangguran baru,” katanya.
“Jangan pesimis dulu dong, Pak. Kita harus optimis soal pengangguran itu. Toh nyatanya berita yang kita baca lewat koran dan kita dengar di tipi mengatakan perekonomian selalu mengalami peningkatan,” kataku.
“Itu yang semakin aneh. Perlu kita kaji ulang indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian kita. Jika memang perekonomian kita naik, saya yakin itu indikatornya hanya dari banyaknya PAD kita. Sementara tetap saja pengangguran semakin meraja lela. Apakah tingkat ekonomi kita naik dengan angka pengangguran yang juga naik ada hubungannya atau tidak, saya tak tahu,” ujarnya.
Duh, sialnya saya juga tidak tahu harus berargumen apa. Sebab memang saya tidak tahu dunia ekonomi dan perekonomian. Paling banter saya hanya tahu, jual harga sekian dapat untung sekian. Terang saja, diajak bicara soal yang rumit-rumit dan makro seperti itu, saya tidak bisa banyak cerita.
Bagaimana pun saya harus bersyukur bisa bekerja, meski masih dipekerjakan orang. Artinya, saya tidak harus menggunakan metode laki-laki yang pernah mendatangi kantor sahabat saya untuk mencari uang. Harapan sahabat saya pun, jangan sampai anak-anak muda yang bakal lulus sekolah dan lulus kuliah menjadi seperti laki-laki setengah baya yang datang padanya tempo hari.

Palembang, 4 Mei 2011
                                                                                                                                                                                    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR