Cuma Seribu




Dua minggu ini pikiran dan jemari saya sibuk betul. Tiga majalah sudah saatnya deadline, satu Koran mingguan juga deadline, sementara tesis saya belum juga di acc. Kalau saja batok kepala dibuat dari kaca bening, barangkali bisa dilihat langsung kencangnya putaran meteran di kepala saya. Pertanda penggunaan listriknya banyak. Dan untungnya listrik di kepala saya tidak byar-pet seperti listrik PLN.
Alhamdulillah, itu semua akhirnya selesai juga dengan segala kekurangannya. Majalah sudah siap cetak, Koran juga sudah beredar, tesis sudah acc. Nah, pada bagian tanda tangan tesis yang masih mengganjal. Tiga diantara tanda tangan yang harus ada belum terselesaikan. Pembimbing II sudah tandatangan, ketua dan sekretaris sidang munaqasyah I memang sedang berada di tempat. Artinya, sewaktu-waktu bisa saya datangi untuk saya mintai tandatangan. Akan tetapi, mereka (ketua dan sekretaris sidang) tidak akan tanda tangan jika kedua pembimbing belum tandatangan. Sementara, pembimbing I saat ini sedang menjalankan ibadah umroh (semoga nanti nular ke saya).
Apa sudah lega? Belum. Apakah kangen dengan bantal? Oh, amat sangat. Ingin main bola di PS sepuasnya? Hyaaaaat, sudah kangeeeen sekali.

Begini, saya mau cerita.  Bersama dua sahabat saya, Mono dan Ican, kemarin ngobrol, berbincang-bincang soal uang seribu. Sahabat-sahabat saya itu memang luar biasa, pintar, rajin membaca dan tentu saja lebih ganteng dari saya.
Pertanyaan utamanya adalah ada apa dengan uang seribu rupiah. Pertanyaan ini muncul dari perkara sepele. Pasalnya kita sering menemukan, atau bahkan setiap hari mendapati kenyataan, para provider telepon seluler selalu iming-iming ‘Cuma seribu’. Apa pun jenis program yang ditawarkan, selalu dengan ‘Cuma seribu’.
Apakah mereka tidak menginginkan lebih dari seribu rupiah? Tentu saja tidak begitu. Dalam obrolan kami yang tanpa moderator dan notulen itu, Ican ngomong mereka sengaja menjebak ruang psikologis kita untuk benar-benar mempercayai bahwa uang seribu rupiah itu tidak banyak dan ‘cuma’. ‘Cuma’ adalah kata yang memberi pengertian bernilai rendah, sepele dan remeh, pada kata selanjutnya. Misalnya, ‘Cuma seribu’ tadi. Kecuali dalam dunia percintaan, dunia cinta punya bahasa sendiri. ‘Cuma kamu’ artinya bukan kamu rendah, sepele dan remeh. Tapi malah sebaliknya, ‘tak ada yang lain lagi selain kamu.’ Halah, maaf kalau nyasar sampai kesini.
‘Cuma seribu’ terus diberondong di ruang psikologis kita, dan pada akhirnya tujuan mereka berhasil. Kita benar-benar yakin jika uang seribu itu nilainya rendah, sepele dan remeh. Karenanya, mereka juga yang kemudian memanfaatkan itu dengan program ‘Cuma seribu’.
Itu sahabat saya, Ican yang ngomong. Berikutnya giliran sahabat saya, Mono yang ngomong.
Seribu rupiah satu pelanggan setiap hari, kali sekian ratus ribu pelanggan. Wow! Luar biasa. Itu masih Mono yang ngomong.
Begitu pandai konsultan bisnis mereka itu. Jika perhitungan dan model bisnis seperti itu dikonversi dalam mengumpulkan zakat, tentu Indonesia akan luar biasa. Untuk sampai kesana, tentu saja ciptakan dulu di ruang psikologis masyarakat, bahwa zakat itu bisa membuat begini, begitu dan sebagainya. Buatlah semenarik mungkin,  Dan ‘Cuma seribu’ setiap hari. Kan seribu rupiah itu ‘Cuma’.
Misalnya saja, ini masih bicara soal cara provider cari uang, untuk mendapat sms gratis, harus mengeluarkan uang seribu terlebih dahulu. Menelpon murah, musti nelpon dulu seribu rupiah. Perhatikan saja, menelpon satu menit Rp 2000,-. Tapi menelpon sepuluh menit Rp 2500,-. Luar biasa, untuk mendapat uang seribu rupiah dari pelanggan, caranya sangat menarik. Dengan iming-iming ‘Cuma seribu.’ Begitu juga yang berlaku untuk program-program mereka. Beli program ini-itu, hanya seribu. Dengan seribu rupiah anda bisa gini-gitu. Internetan sepuasnya dengan seribu. Telepon cewek Anda seharian Cuma seribu, misalnya, dan lain-lain.
Dan kita memang dimanjakan dengan program ‘Cuma seribu’ tadi. Dalam kenyataan juga uang seribu hanya dipersiapkan untuk parkir. Itu masih Mono yang ngomong. (Eh jangan salah, Mon. Di Bangka Belitung, uang parkirnya  dua ribu rupiah!).
Lantas mereka berdua terlibat saling debat, hebat. Mendengar mereka berdua ngomong, saya semakin kagum dengan keduanya, benar-benar hebat. Sungguh saya tidak rugi bersahabat dengan mereka. Mereka sendiri bagaimana menilai saya? He he he he, Anda tentu lebih tahu daripada saya.
Dari obrolan mereka, saya cuma jadi merasa diakali melulu. Oleh provider? Oleh pikiran sendiri. Lho kok? Iya, saya ini konsumtif, dan sama sekali tidak produktif. Belum bisa menguasai keinginan diri sendiri. Dan parahnya tetap saja tidak pintar-pintar. Titik!
Lantas, bagaimana dengan ‘Cuma seribu’ tadi? Ah yang benar saja, masak saya juga harus menjawabnya. Silakan merekontruksi penggunaan pulsa Anda. Dan silakan memberi kesimpulan sendiri. Yang jelas hingga hari ini saya belum menghubungi kekasih saya.
Begini, yang ini bukan masalah ‘Cuma seribu’ tadi. Perkaranya sama sekali berbeda, selama dua minggu ini juga, kekasih saya tidak seperti sebelumnya. Eh, maksud saya ia tidak pernah lagi telepon atau sms. Padahal biasanya paling lama dua atau tiga hari pasti telepon atau sms. Meski sekadar menanyakan kabar, ataupun sekadar ingin menunjukkan kalau ia sedang sebel sama saya, tapi saya senang. Sebab dengan seperti itu, berarti saya masih menjadi bagian hari-harinya.
Lha, ini sampai dua minggu tak ada telepon, tak ada sms. Manakala saya pegang Hp dan ingin telepon atau sms, maka pikiran saya bilang, “Gengsi, Dong! Masak laki-laki duluan, lagian kamu kan ga salah apa-apa. Biar saja dia hubungi kamu dulu.” Sementara pikiran saya yang lain ngomong,”Jangan egois ,Dong. Kalau memang cinta, apa sih salahnya menghubunginya duluan. Siapa tahu dia nya lagi ada masalah. Kalau kamu ga mau hubungi mana bisa tahu.”
Berkali-kali seperti itu. Berhari-hari sampai dua minggu lamanya seperti itu. Walhasil saya cuma diam, dan saya biarkan kedua pikiran saya berdebat sendiri. Sementara saya hidupkan kompor, masak air dan bikin kopi. Lha, kapan mau telpon dia? Pengen tahu saja. Biar itu jadi urusan kami berdua. Sudah!
Saya pun kembali menyibukkan pikiran dan jemari, demi ‘Cuma seribu.’ Ican, Mono, aku bangga padamu.
(Palembang, 4 Mei 2011)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR