Merintis Jalan Baru, Di Tempat Lama



Selasa 26 Juli 2011, bersama Iyung. Ba’da dhuhur baru pergi ke Dempo, dimana loket jetpoil Sumber Bangka dijual. Beli tiket itu seharusnya sudah pagi tadi kami lakukan. Sampai di loket Sumber Bangka dan bertanya ternyata kapal Sumber Bangka yang kini beroperasi tidak bisa memuat motor, armada yang biasanya memuat motor sedang rusak.
Ya, saya berniat membawa motor serta ke Bangka, pulau yang kini sudah menjadi provinsi sendiri, dimana saya pernah menghabiskan waktu 7 tahun di sana.
“ Jika tidak keberatan, silakan senin depan, Pak. Kapal yang bisa memuat motor saat ini sedang dalam perbaikan,” kata petugas di loket itu.
Kami pun lantas meluncur ke Boom Baru, ke loket jetpoil Ekspres Bahari. Setali tiga uang, justru kapal Ekspres Bahari tidak menerima muatan kecuali penumpang saja.
Demi mendengar jawaban tersebut kami langsung tancap gas ke dermaga Tangga Buntung, pelabuhan kapal fery. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 15.00 wib. Saya langsung menuju loket dan bermaksud ingin bertanya soal jadual keberangkatan kapal.

“Yang berangkat malam dak katek dek. Terakhir jam limo inilah,” petugas itu menjelaskan. Awalnya hanya ingin bertanya saja, namun pikir demi pikir, daripada kelamaan mikir, akhirnya sore itu saya putuskan untuk membeli tiket yang berangkat jam lima sore.
Di kapal
Saya diantar Aziz, sahabat saya yang pelukis itu ke Tangga Buntung. Ia benar-benar hanya mengantar dan langsung balik motor tancap gas. Saya pun segera menaikkan motor ke kapal. Nah, soal ini saya akan bagikan catatan. Tiket satu motor beserta orangnya Rp 150.000. Ketika hendak masuk pelataran dermaga kapal dikenakan biaya Rp 5.000.  Ketika memasuki pintu kapal masih ada biaya lagi Rp 10.000.
“ Ini untuk petugas di sano,” kata petugas yang ada di pintu masuk sembari menunjuk beberapa petugas yang mengatur posisi kendaraan di dalam kapal.
“ Tinggalke bae motornyo di sini. Biar petugas yang bawa masuk. Dak usah dikunci stang,” Kata petugas mengingatkan saya.
Jam digital di handphone menunjukkan pukul lima sudah lewat tiga puluh menit, tapi kapal feri jurusan Muntok yang kutumpangi belum juga berangkat. Menunggu kapal berangkat, saya berkeliling mencari tempat istirahat. Penuh, semua kursi sudah terisi. Akhirnya saya kembali duduk di lantai dak luar kapal. Setengah jam kemudian kapal yang dindingnya bertuliskan I LOVE INDONESIA itu bergerak.
Selain sedikit uang, saya tidak membawa bekal sama sekali; minuman tidak bawa, makanan apalagi. Kemudian saya beli air minum kemasan di kapal.

“ Berapo yang botol besak? Tanyaku ke penjual.
“ Sepuluh ribu kak!” jawabnya. Agak terkejut juga saya mendengar jawaban sang penjual. Mereknya pun aneh, belum pernah saya lihat! Water Drink Qua.
“ Mahal sekali kamu jual minum. Lima ribu saja lah,” saya mencoba menawar.
“ Itu juga kalo kakak galak. Men dak galak dak apo-apo. Cari bae di tempat lain,” katanya enteng
Benar-benar luar biasa penjual minuman ini, pandai memilih lokasi jualan. Pikir saya, mana ada toko di atas kapal. Walhasil, meski sedikit keberatan saya pun membeli sebotol besar.
Hari beranjak malam, udara pun semakin dingin. Saya mencoba kembali memeriksa ke dalam kapal sembari berharap masih ada kursi kosong. Yang ada malah semakin ramai, bahkan tidak sedikit yang rela tidur di lantai hanya beralas koran bekas.
Daripada kedinginan di luar, saya pun segera menggelar koran bekas yang saya pungut dari kotak sampah. Sesaat kemudian saya melihat tumpukan kasur tipis di depan ruangan kantin yang didesain serupa dengan bar. Ternyata memang kasur-kasur tersebut disewakan Rp 10.00 satu malam. Saya sewa satu kemudian berkeliling mencari tempat yang saya anggap strategis dan nyaman untuk sekadar meluruskan punggung: tidur!
Baru mencoba memejamkan mata, terdengar suara musik dangdut. Makin lama makin besar suaranya. Suara musik jedag-jedug itu terdengar begitu keras! Membuat mata makin melotot. Saya pun bangkit dan memeriksa keliling. “Oh! Pantesan,” piker saya sambil manggut-manggut. Rupanya saya tidur di belakang sound system.
Sejenak kemudian saya berkeliling mencari tempat lain. Tak ada ruang kosong kecuali di dak luar. Akhirnya saya bentang juga kasur tipis 10 ribu itu. Tatapan langsung ke langit dengan sedikit bintang, angin berhembus begitu kuat mengakibatkan hawa dingin yang sangat. Memenggal keinginan hati untuk tidur.
Saya kembali ke dalam masih menenteng kasur dan menggendong tas. Dari pojok ruangan yang didesain mirip ‘bar’ itu saya yang masih terus berdiri mendengar orang karaokean secara bergantian. Mereka adalah para sopir truk. Kemudian saya keluar dan masuk lagi, kali ini tanpa kasur dan tas. Saya dekati awak kapal yang tampaknya memang bertugas mengurusi dapur, sekaligus ngurusi musik. Saya pesan pop mie dan segelas kopi:
“ Bang, boleh saya ikut karaokean?” saya sertanya.
“ Boleh, lajulah mon nak nyanyi,” jawabnya.
Inilah pengalaman pertama show di atas kapal. Suara tinggal serak, mata tak tidur, dan badan ngilu. Semalam suntuk saya bernyanyi bersama para sopir truk itu. Makan, kopi dan rokok gratis sebagai imbalannya. Pengalaman yang luar biasa!
Kapala sandar ke dermaga hampir adzan subuh, sebab begitu saya keluar kapal bersama motor. Tak lama kemudian terdengar suara adzan dari pengeras suara di mushalla yang ada di dermaga Tanjung Kalian, Mentok. Meski masih harus menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam lagi, tapi hati dan jiwa saya sudah plong. Ini juga berarti kembali ke tempat lama dengan merintis jalan baru. Mau tahu kenapa saya balik lagi ke Bangka? Yap! Calon Istri saya gadis Bangka. Welcome to the Bangka Island!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR