MURID-MURID HEBAT
Sejak tahun baru
2012 saya mendapat kesempatan mengajar di Mts Annjah Payabenua, kampung istri
saya. Sejak menikah November lalu saya memang berniat untuk dapat memberikan
sesuatu untuk kampung istri saya. Niat itu berangkat dari pertimbangan bahwa
saya telah mengambil seseorang dari kampung itu. Dan sebagai imbalannya, saya
harus memberikan sesuatu kepada kampung itu.
Saya bisa mengajar,
dan kebetulan MTs yang ada sedang membutuhkan seorang guru Bahasa Inggris. Maka
kemudian saya mengasuh mata pelajaran Bahasa Inggris. Tentu saja dengan
berbagai kekurangan yang saya miliki.
Mengajar di kampung,
adalah tantangan tersendiri. Saya kemudian mencoba untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan
itu. Utamanya adalah bahasa. Anak-anak
di sekolah itu tidak terbiasa dengan bahasa Indonesia. Bahasa pengantar materi
belajar disampaikan dengan bahasa setempat. “Mereka lebih paham dengan bahasa
kampung” kata salah seorang dewan guru. Sementara saya diminta untuk mengajar
bahasa inggris. Jadi ada dua pekerjaan dalam hal ini. Pertama, saya
menerjemahkan materinya ke dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu. Kedua,
kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa kampung. Pekerjaan menarik!
Meski demikian,
anak-anak nampak begitu antusias belajar bahasa inggris, hampir setiap
pertemuan tidak ada siswa yang tidak masuk. Setiap kali masuk kelas saya
memberikan PR, dan tidak ada yang tidak mengerjakan PR.
Pertanyaan yang
sering dilontarkan anak-anak adalah bahasa inggrisnya ‘Ngaret’ atau mengambil
getah karet, itu apa? Walhasil saya pun kemudian tanya kesana kemari ke
beberapa teman yang kebetulan berkumpul di UBINSA STAIN. Meski tak ada jawaban
yang memuaskan dari mereka paling tidak saya bisa mengambil kesimpulan dari apa
yang mereka berikan. Hingga hari ini
jawaban yang saya berikan ke anak-anak adalah ‘take latex’ (mengambil
getah). Sebab pohon yang diambil getah asumsinya adalah cuma pohon karet.
Mudah-mudahan jawaban itu benar, meskipun terlihat anak-anak belum yakin benar
atas jawaban saya.
Murid-murid saya itu
hebat. Mau tahu kehebatan mereka? Ini dia kehebatannya.
Pagi-pagi mereka ke
kebun ‘ngaret’ itu. Pagi ukuran mereka itu adalah sesaat setelah adzan subuh
dan belum ada tanda-tanda sinar mentari pagi. Bahkan kabarnya banyak diantara
mereka yang berangkat ke kebun sebelum adzan subuh. “ Kebun karet saya jauh
dari kampung,” katanya. Mereka berani ke kebun pagi buta itu sebab di kebunnya
ada Sang Ayah yang memang jarang pulang ke kampong. Mereka para orang tua
lelaki biasanya tidur di pondok kebun.
Siang harinya mereka
sekolah hingga menjelang maghrib. Malamnya mereka masih ada kewajiban mengaji.
Baik alqur’an maupun kitab-kitab yang biasa diajarkan di pondok pesantren.
Mereka pergi-pulang dari kampung ke kebun dan pergi-pulang ke sekolah dengan
sepeda. Mereka bayar SPP dengan
‘ngaret’. Mereka beli buku dengan ‘ngaret’ mereka punya ini punya itu dengan
‘ngaret’. Orang tua cukup menyediakan lahan kebunnya.
Meski sudah bisa
menghasilkan rupiah sendiri, tak ada yang tergoda untuk tidak melanjutkan
sekolah. Tidak sedikit dari mereka yang ingin melanjutkan hingga ke jenjang
pascasarjana. “Seperti bapak.” Katanya.
Saya membayangkan,
siklus keseharian mereka kalau itu terjadi pada saya mungkin saya tak akan
sanggup. Tidak ada waktu untuk bermain-main. “Kami main di kebun, pas di
sekolah dan di tempat ngaji,” demikian jawaban mereka ketika itu saya tanyakan.
Bulan kemarin mereka
yang kelas X mengikuti UN, Alhamdulillah mereka lulus semua, meski dengan nilai
yang pas-pasan. Minggu depan, anak-anak kelas IX akan UAS, itu mengerjakan soal
50 butir yang saya buat dengan pilihan ganda. Meski sedikit kesulitan, demi
melihat antusiasme mereka, saya yakin lebih dari separuh dari soal itu akan
terjawab benar. Saya yakin karena mereka murid yang hebat.
1 Juni 2012
Komentar
Posting Komentar