Cerita dari Bangku Kuliah


Ini tulisan saya yang terlewat dan belum di upload.

Saya bersama istri sengaja selalu menyempatkan diri berbelanja pada hari-hari efektif, maksudnya bukan pada hari libur semisal malam minggu. Hal itu kami lakukan bukan tanpa pertimbangan. Maklum, super market kalau pada hari libur ramainya minta ampun.  Itu alasan yang pertama. Kedua, pada hari-hari libur antrian di kasir akan begitu panjang dan tentunya membutuhkan waktu lama. Sebab budaya kita ngantri bukanlah berjejer melainkan bergerombol. Semangat untuk saling mendahului begitu kentara. Belanja hanya butuh waktu lima belas menit, ngantrinya setengah jam. Ketiga, ketika berbelanja kami tidak perlu berdesakan atau bahkan berebutan dengan pembeli lainnya. Lebih leluasa memilih barang yang hendak kami beli dan rasanya lebih luas. 


Namun apa yang kami lihat selama ini ternyata sama sekali meleset dari apa yang kami pikirkan. Bahkan pada hari-hari efektif, seperti yang saya maksudkan tadi. Super market tetap saja ramai oleh para pengunjung, baik yang hanya sekadar jalan-jalan maupun yang benar-benar belanja. Yang datang pun lintas usia, dari yang sudah tua sampai yang masih dalam gendongan. Itu barangkali fenomena wajar dan lumrahnya super market di kota mana pun, termasuk juga di Palembang. Barangkali juga sudah menjadi tradisi orang-orang kota. Namun satu hal yang membuat saya dan mudah-mudahan juga istri saya agak sedikit prihatin. Yakni, kami sering menemukan anak-anak usia sekolah, sekolah dasar khususnya, yang juga turut serta orang tuanya berbelanja pada hari-hari efektif itu. Barangkali bukan turut, tapi karena memang sengaja diajak. Lebih prihatin lagi karena mereka beranjak pulang setelah supermarket tutup. Itu artinya sampai pukul sembilan malam lebih. Artinya lagi, jam-jam segitu sudah terlalu malam untuk anak-anak berada di luar rumah.

Keprihatinan yang mustinya menjadi keniscayaan bagi banyak orang terutama orang tua yang memiliki putra-putri yang sedang bersekolah. Bagaimana tidak, harusnya mereka tidak berada di supermarket pada hari-hari efektif seperti itu. Melainkan berada di rumah, belajar. Mengulangi pelajaran siang tadi dan mempersiapkan diri untuk belajar esok pagi. Kebanyakan orang tua berpandangan bahwa, setelah anaknya masuk sekolah, segala sesuatu yang menyangkut prestasi akademik anaknya murni menjadi tanggung jawab sekolah. Orang tua tak perlu repot-repot urusi segala macam pelajaran. Suatu pandangan yang saya anggap keliru sebab pendidikan secara keseluruhan adalah juga tanggung jawab masyarakat, dalam hal ini adalah orang tua. Pendidikan akan berlangsung baik jika semua pihak menopang keberlangsungannya. Pemerintah, pendidik dan masyarakat termasuk di dalamnya adalah para orang tua.

Cerita di atas saya dapat dari kuliah pada pertemuan hari pertama dengan Profesor Waspodo. Tentu cerita Profesor yang saya ulangi di atas tidak sama persis, utamanya mengenai kosakata bahasa yang digunakan. Saya yakin cerita itu bukan sengaja dibuat-buat untuk mendramatisir keterpurukan dunia pendidikan kita. Sebenarnya, waktu beliau cerita pada bagian belanja di super market, kepingin sekali saya tanyakan mengapa profesor lebih memilih belanja di super market dan bukan di pasar tradisional, tapi terlanjur beliau menyusul kalimatnya dengan terus bercerita. Maka demi menjaga etika, sampai sekarang saya simpan saja pertanyaan itu. Tapi diam-diam saya juga berdo’a semoga saya bisa menemukan jawabannya sendiri kelak dan rupa-rupanya saya lebih menikmati dalam kondisi pencarian seperti ini. Selain itu saya juga menyimpan sejumlah kalimat yang intinya memaklumi ‘hal’ yang membuat Pak Profesor menjadi prihatin. 

Profesor bisa dengan sangat mudah meninggalkan putra satu-satunya di rumah, bersama -barangkali- pembantu atau orang lain yang memang digaji untuk menemani belajar putra beliau. Hal itu belum tentu mampu dilakukan oleh para orang tua yang sering beliau lihat di supermarket. Entah karena alasan ekonomi maupun alasan lain yang tidak memungkinkan mereka memiliki perhatian akademis putra-putrinya seperti halnya profesor. Sebab –barangkali- itulah salah satu bentuk perhatian mereka terhadap putra-putrinya supaya lebih giat belajar. Yakni sesekali mengajak putra-putrinya menikmati suguhan barang-barang di supermarket.  Sungguhpun maksud mereka baik, namun secara keseluruhan, dari sudut pandang dunia pendidikan –barangkali (lagi)- memang cenderung diindikasikan keliru. Maaf, sama sekali saya bukan bermaksud menjustifikasi.

Demi mengutip pendapat Profesor Waspodo, bahwa pendidikan adalah ikhtiar yang dilaksanakan secara arif (deliberate), terencana (systematic) dan berkesinambungan (sustain). Maka apa yang beliau saksikan di supermarket sungguh memprihatinkan. Terlebih pada kata berkesinambungan, dimana yang dimaksud ‘berkesinambungan’ tersebut tidak terbatas hanya berkesinambungan secara vertikal SD,SMP, SMP hingga bangku perkuliahan. Namun juga berkesinambungan secara horisontal, yakni kerjasama pemerintah, lembaga terkait dan juga masyarakat terlebih orang tua. Yang ini bukan analisis saya pribadi, tapi juga penjelasan beliau. Saya cuma kopi paste dan nambah-nambah dikit. He he he he he…

Belum lagi jika dihitung waktu yang dihabiskan anak-anak, dimana sebagian besar waktu mereka berada di rumah bersama orang tua mereka. Anak-anak, menurut beliau cenderung meniru (plagiasi) apa yang dilakukan orang tua. Beranjak remaja mereka akan memodifikasi apa yang sudah ada dengan hal baru yang mereka lihat dalam pengalaman hidupnya yang pasti juga bertambah. Internalisasi akan mereka lakukan sesudah beranjak dewasa. Ketiga istilah tersebut, plagiasi, modifikasi dan internalisasi semuanya mengacu pada term pendidikan. Sebenarnya masih banyak kalimat lgi yang ingin saya ketik. Tapi demi mendengar adzan subuh saya harus berhenti. “Ini sudah pagi Ful”! kata batin saya. (Palembang 2009)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR