Gara-gara Potong Rambut



 “Dasar goblok, tidak sadar diri, ngaca dong!” Saya dicerca sedemikian rupa oleh sahabat saya sendiri. “Mana mungkin ia cinta padamu, wong kenthir (orang gila), dia itu siapa, kamu siapa. Jangan naif dong!” kalimat yang terakhir itu, jelas saya tidak mengerti artinya. Dicerca sedemikian rupa itu, saya tidak bereaksi apa-apa, tetap duduk sambil membuka lembar demi lembar buku yang saya pegang tanpa sama sekali ada maksud untuk membacanya. Saya maklum betapa besar rasa sayang sahabat saya itu, kepada saya. Tapi dasar saya yang katanya goblok tidak pernah bisa benar-benar menyadarinya. Sudah berkali-kali ia berlaku demikian kepada saya dan inti kata-katanya selalu mudah ditebak. Ia menyayangkan umur saya yang sudah tua (menurutnya) yang tidak segera menemukan calon istri dan bahkan terbentur kenyataan selalu ditolak mentah-mentah oleh perempuan. Kalaupun tidak ditolak pasti ditinggal kawin. 


“Kamu itu memang bakatnya cuma jadi penonton. Jadi laki-laki jangan bodoh-bodoh amat kenapa sih? Pacarilah perempuan dua atau tiga sekaligus. Jangan terlalu setia. Laki-laki setia adalah laki-laki yang paling bodoh!”. Sambil berkata demikian, ia ambil buku dari tangan saya dan melemparkannya begitu saja ke lantai. Nampaknya hari itu kekesalan sahabat saya sudah sedemikian meninggi.
“Bagi saya istri adalah istri. Bukan pembantu rumah tangga atau apa pun sejenisnya. Saya hanya akan menikahi perempuan dewasa, bukan anak-anak atau nenek-nenek. Soal keterampilan dalam rumah tangga,  itu bisa dan mudah dipelajari setelah nanti menikah. Saya hanya menikahi yang dewasa sebab hanya orang dewasa yang bisa diajak bermusyawarah dan berpikir, meskipun banyak kita jumpai orang yang berumur tua namun tidak bisa diajak bermusyawarah. Dan yang pasti perempuan, masak laki-laki menikahi pria. 

Sejelek-jelek saya, juga pernah membaca sejarah kaum Luth dan sepertinya tidak ada enaknya sama sekali. Tidak perduli kaya atau miskin, status itu hanya milik orang-orang yang berpandangan cekak, pendek dan sesaat. Juga masyarakat jahiliyah dahulu menikahi perempuan-perempuan kaya, alih-alih meningkatkan derajat kaum perempuan malah moroti harta benda perempuan, jahat kan? Saya hanya berusaha tidak ingin menambah catatan kejahatan saya sebisa mungkin. Lantas soal memacari dua atau tiga perempuan sekaligus. Jawabannya cuma satu; saya bukan hewan!” Saya membalasnya dengan berkata demikian itu, tapi keburu sahabat saya pergi dan sudah pasti ia tidak mendengar.

Setelah beberapa waktu sahabat saya itu menemani dan melihat peta perjalanan hidup saya, saya menjadi tambah maklum melihatnya bersikap seperti itu. Paling pol, saya hanya menghela nafas, lantas berdiri dan meninggalkannya di kamar kos sendirian.
Beberapa hari setelah hari itu, ia pergi begitu saja tanpa pamitan. Pun saya tidak berusaha untuk mencegah. Terserah saja ia mau kemana. Saya tidak ingin menjadi seorang yang jahat dengan menjadi narator hidup sahabat saya. Juga, saya tidak perlu khawatir sebab bukan sekali dua ia pernah melakukannya. Paling-paling sebulan lagi ia pasti kembali lagi, begitu pikir saya. Tapi sebulan setelah hari itu, ternyata pikiran saya keliru, ia benar-benar pergi dan memilih untuk tidak lagi tinggal satu kos dengan saya. Mau bagaimana lagi jika memang itu pilihannya, tentu ia sudah tahu resiko dari pilhannya itu.

Hari itu sampai sekarang, berdasarkan hitungan tahun, sudah lebih dari tiga tahun ia menjauh dari hari-hari saya. Baru kemudian, pada kurun waktu satu tahun terakhir ini saya sering bertemu, tepatnya berpapasan dengannya. Dan setiap kali ketemu saya, kata-katanya selalu bernada mengejek.
Sekarang kemana-mana ia sudah naik mobil pribadi bahkan sudah berkali-kali ganti. Sementara saya tetap naik sepeda motor dan motor yang itu-itu saja. Belum lagi melihat saya masih sendiri dan ia sudah menikah dengan seorang gadis cantik kinyis-kinyis, mertuanya kaya raya yang asetnya ada di beberapa perusahaan nasional maupun internasional. Semakin kecillah saya di matanya. Maka, lagi-lagi maklumlah saya melihat sikapnya itu.
“Kalau mau enak, tiru saya!” Tangannya menepuk pundak saya sambil tertawa. Lama-lama saya tidak tahan juga diejek terus. Suhu badan saya naik, aliran darah saya juga terasa semakin deras. Saya lantas menghadapkan wajah saya, benar-benar berhadapan dengan wajahnya yang masih mentertawakan saya. “Eits...tunggu, saya sudah tahu kamu mau bilang apa. Sudahlah...jangan nguliahi saya...”
“Stop! Sekarang giliran saya yang bicara...”
“ Tai kucing kering!” Ia menggembor ngeloyor pergi.
“Ah....” Ternyata gertakan saya hanya membuat ia pergi. Jika dulu saya menghela nafas dan meninggalkan ia sendirian di kamar kos, sekarang saya menghela nafas dan ia meninggalkan saya sendirian di jalan.
Jam 12 malam lebih Hp saya berbunyi nada sms masuk. “Maaf kawan, saya hanya terlalu lama hidup dalam kemiskinan. Saya sudah bosan! Selamat tinggal. Saya tidak mau menderita sepertimu.” Membaca kalimatnya yang seperti itu, saya bisa menebak bahwa ia hanya memberi tahu tanpa harus meminta jawaban. Maka sampai detik ini sms itu tidak saya balas.

***
Jangan berlebihan, biasa-biasa saja sebab cerita di atas hanya fiktif belaka, cuma cerita karangan saya saja. Meskipun cerita itu diilhami dan berangkat dari realitas perjalanan hidup saya beberapa tahun belakang. Yang mana yang cerita fiktif ? dan yang mana pula yang tidak fiktif ? Sebegitu pentingkah antara fiktif dan tidak fiktif bagi Anda? Kita semua sudah terlalu lama hidup di dunia fiktif, dunia karangan, dunia imajinasi dan hayalan. Berhayal tentang kemudahan-kemudahan hidup, berhayalan tentang hidup yang serba enak-enak, berhayal bisa ke sana-kemari petentang-petenteng bak orang paling kaya, berhayal tentang kemewahan dan gemerlap dunia, bahkan untuk persoalan penting seperti memilih presiden saja kita dasari dengan hayalan. Dan semua yang kita lakukan hari ini, apakah sudah benar-benar kita sadari? Ataukah kita hanya berhayal saja? Di manakah kita letakkan dunia fiktif dan dunia tidak fiktif itu? Sama sekali tidak jelas!

Memetakan yang saya hadapi setiap hari seperti itu saja, saya sudah tidak becus, kerepotan dan kebingungan. Maka saya tidak mau bercita-cita setinggi langit, sebab bagi saya cita-cita setinggi langit hanya milik anak kecil yang hidupnya dipenuhi hayalan-hayalan dan imajinasi. Saya hanya ingin menjadi makhluk bumi yang benar-benar membumi. Manusia yang hidup dan berjalan di bumi, menerima realitas bumi tapi tidak tuli terhadap berita langit, makhluk nyata! Juga menerima kenyataan bahwa hidup saya kurang beruntung soal percintaan dan perempuan. Ditolak, dibiarin atau ditinggal kawin!

Cukup saya omong-omong yang begini. Nanti dikira orang ngelindur yang bicara sembarangan dan tidak jelas. Ini pasti karena rambut saya habis dipotong dan kepala tempat otak saya tersimpan, dipijit-pijit oleh Mas atau Mbak (?) yang kerja di salon itu. Nah, kan! Membedakan tukang potong rambut itu laki-laki atau perempuan saja saya bingung. (Palembang, 2009)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR