Oleh-oleh dari Ngayogyakarta Hadiningrat




Saya tidak membawa oleh-oleh apa pun ketika saya kembali ke Palembang dari Jogja. “Apa pun” yang saya maksudkan itu adalah barang-barang yang umumnya dibawa oleh mereka yang pulang dari Jogja. Semisal blangkon, kaos DAGADU, baju batik dan barang lain ‘khas Jogja’, juga makanan

Bukan niat saya untuk tidak membawa oleh-oleh, namun ‘dana asmara’ yang saya miliki tidak mencukupi untuk beli barang-barang begituan. Bisa beli tiket bis saja syukurnya sudah tidak karuan. Boro-boro mau beli segala macam oleh-oleh. Jadi, ketika teman-teman menanyakan oleh-oleh, saya pura-pura tidak dengar. Meskipun tidak bawa barang, saya punya oleh-oleh cerita, lumayan daripada tidak punya oleh-oleh sama sekali.

Tiga orang laki-laki setengah berlari menaiki bus Mustika jurusan Yogya – Semarang melalui pintu belakang. Dua orang diantaranya menenteng gitar. Jelas! Mereka pengamen. Lelaki pertama, berambut gimbal ala Bob Marley. Paling gemuk diantara mereka dan dari lagaknya, saya dapat menebak bahwa ia yang menjadi kepalanya. Lelaki kedua, dari raut muka dan bentuk tubuhnya yang kurus kecil, ia menjadi yang paling muda diantara tiga lelaki tersebut. Lelaki ketiga, juga kecil dan kurus tulang rahangnya nampak menyembul memberi kesan yang kuat bahwa ia orang susah. Bajunya yang  bolong dan tipis akibat sudah terlalu lama tergerus air keringat menambah kuat kesan itu.

Setelah berada di atas bis, dari mendengar bisik-bisik mereka, saya tahu mereka akan membagi diri dalam dua rombongan. Dengan maksud supaya mereka dapat mengamen bergiliran. Rombongan pertama mempersembahkan dua buah lagu band anak muda sekarang. Lagunya Ungu dan Sheila on 7. Suaranya dibuat agak mirip-mirip aslinya meski gagal. Tapi cukup membuat beberapa penumpang tersenyum. “Maaf bapak-bapak ibu-ibu. Kami bukanlah pengamen, tapi kami adalah peserta salah satu kuis di tipi. Di belakang bapak ibu semua ada kamera tersembunyi. Di sebelah pak sopir juga ada” kata pengamen yang gemuk, sembari menyuruh temannya meminta duit kepada penumpang. Kata-katanya cukup membuat beberapa penumpang tertawa, termasuk saya. “ Terimakasih kepada semuanya. Doakan semoga kami yang menjadi juaranya. Dan jangan lupa saksikan kami setiap malam kamis.“ ia menyudahi basa basinya dengan mengucap salam.
Sekarang giliran pengamen kedua. Ia hanya sendirian. Suaranya kecil sekali, tidak terdengar jelas ia menyanyi atau hanya bicara biasa. Hanya terdengar jelas genjrengan gitarnya saja. Telinga saya pun bisa menangkap bahwa senarnya tidak stel. Tapi justru suaranya yang tidak jelas, dan gitarnya yang tidak stel itu yang bikin penumpang makin keras tertawa. Cewek yang duduk di sebelah saya ngomong, “Bapak itu pede banget ya, kikikikikik!
“ Hooh, PEDE, Persis Doyok,” jawab saya, lantas kami tersenyum bareng. Saking khusuknya menikmati alunan suara ‘tak jelas’ itu, saya sampai lupa Tanya nama dan nomer Hp cewek yang duduk di sebelah saya. Cantik lho! Jika ada jodoh, kami akan dipertemukan kembali oleh Tuhan. Halah! Ha ha ha ha ha ha….

Selesai ‘menyanyi’ kemudian ia pun berjalan saja dari kursi depan ke belakang sembari menyodorkan kantong bekas bungkus permen Relaxa. Tapan basa-basi sebagaimana pengamen pertama. Pengamen pertama turun di depan terminal Muntilan. Muntilan adalah kota kecamatan di Kabupatem Magelang, lebih kurang 20 menit perjalanan dari kota magelang. Pengamen yang tidak jelas suaranya turun di Tempel, kota kecamatan perbatasan antara Yogyakarta dan Magelang, lebih kurang hanya 15 menit dari Muntilan. Setelah pengamen kedua turun, saya pun tertidur. Padahal 10 menit lagi saya harus turun di Murangan. Bisa ditebak, saya kebablasan sampai ke terminal Jombor.

Cerita kedua, manakala saya dan Pak Lik saya pulang dari Malioboro. Tepatnya di simpang lampu merah Jombor. Saya melihat dua anak lelaki berdiri di bawah lampu mercury perempatan. Melihat garis muka dan dandannya, agaknya mereka seumuran. Kira-kira 14-15an tahun. Tiap kali lampu perempatan jalan menyala merah, mereka akan turun jalan seraya menyodorkan amplop putih kecil kepada pengendara motor yang tengah berhenti menunggu lampu hijau. Pada sampul amplop tertulis ‘Bantulah saya untuk biaya melanjutkan sekolah’. Bentuk tulisannya seperti sengaja dijelek-jelekkan, seperti tulisan anak-anak yang baru belajar menulis. Mungkin maksudnya agar setiap siapa saja yang disodori amplop menyadari bahwa mereka benar-benar masih butuh sekolah. Saya berada di barisan paling belakang di antara motor dan mobil yang berhenti. Cepat sekali mereka membagikan amplop putih itu, hingga tahu-tahu sudah ada di depan saya. Ia menaruhnya begitu saja di kepala motor lantas berjalan kembali ke barisan terdepan sembari meminta amplop yang mereka berikan tadi. Belum lagi sampai ke belakang, lampu hijau menyala. Mereka segera naik ke trotoar dan amplop yang ada di kepala motor saya tidak sempat mereka ambil. Akhirnya saya ambil dan saya kantongi.

Saya bisa tahu tulisan dan bentuknya manakala saya lihat sesampainya di rumah. “Hlah, pinter-pintere wong golek duit,” komentar Pak Lik ketika saya sodorkan amplop itu kepadanya. “Untung awake dewe ki uripe ning ndeso. Ra perlu ngene iki carane nak ming arep golek duit,” katanya kemudian. Lantas melemparkan amplop itu di atas meja makan.
(Peninggalan, 2009)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR