Kabar dariTransmigran




Ia adalah warisan nenek moyang Bangsa Timur, Indonesia khususnya. Warisan  ini pernah tenar berpuluh tahun lamanya, tepatnya semenjak Soeharto menjadi presiden. Bahkan pernah pula menjadi nama kabinet semasa pemerintahan Megawati, kabinet Gotong Royong. 

Saya menyebutnya sebagai sebuah warisan sebab gotong-royong bukanlah hasil rumusan ilmuwan, melainkan lahir dari rahim dialektis logika, etika dan estetika nenek moyang tentang bagaimana harus berhubungan dengan Tuhan, manusia dan alam. Bahkan  ilmu-ilmu sosial, antropologi kontemporer belum mampu melahirkan konsep-konsep yang lebih ‘mak nyos’ dari itu.   


Kaum literer dan orang-orang kota mungkin hanya mengenal nama serta konsep-konsep dengan nama bagus yang menyertainya, lewat pidato di atas mimbar, ceramah-ceramah di televisi dan tulisan-tulisan di buku. Orang-orang desa mungkin mengenalnya dengan nama lain, semisal, gugur gunung, bersih kampung, kerja bakti dan sebagainya. Meski sama-sama kenal, namun kaum literer dan orang-orang kota tidak membumikannya dalam praktik kehidupannya. Berbeda dengan orang-orang desa, mereka tidak hanya mengenal lewat omongan dan tulisan, tapi mereka benar-benar membumikannya dalam praktik tanpa harus berdebat, seminar dan lokakarya terlebih dahulu.

Gotong royong bagi orang-orang desa bukan hanya persoalan mewarisi tradisi nenek moyang, bukan hanya persoalan hubungan dengan Tuhan, manusia dan alam, persoalan tentang kerjasama. Tapi juga kontrol sosial dan pendidikan non formal bagi generasi penerus mereka. Dalam gotong royong, di mata orang-orang desa tidak ada dualisme status, siapa saya siapa anda. Mereka dapat dengan leluasa bersentuhan, bercengkerama tentang apa saja, saling menyindir, mengolok-olok dan tentu berbagi informasi pekerjaan. Mereka tidak melihat sampeyan sebagai gerombolan gaple, gerombolan remi, gerombolan maling, gerombolan aliran sesat, aliran tidak sesat atau baju-baju lain yang biasa orang kota gunakan sebagai ukuran dalam bekerjasama dan berteman. Anak-anak muda mereka dapat menafsirkan, memaknai dan menilai bagaimana orang tua mereka bersosialisai tanpa merasa digurui dan digiring cara berfikirnya. 

Mereka jujur, tulus dan tampil apa adanya, tapi sialnya orang-orang kota dan orang-orang pinter gemar memanfaatkannya. Khairunnaasi anfa’uhum linnaasi, manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermafaat bagi orang lain, kata Nabi kita. Tapi kalimat ini tafsirnya berbeda ketika sudah sampai ke kota dan di kepala orang-orang pinter. Kalimat itu tafsirnya menjadi bahwa, orang yang paling baik adalah orang yang paling pandai memanfaatkan kebaikan orang lain. Dan ketika saya sampaikan kalimat ini kepada salah seorang sahabat saya ia menjawab, “Ini soal kesejahteraan Bung!”. Klakep. Sudah. Tak berani lagi saya teruskan bicara beginian sama sahabat saya.

Orang-orang transmigran mengingatkan saya pada warisan nenek moyang ini, 22 Februari yang lalu. Mengingatkan? Ya, ketika usia saya mulai beranjak remaja, saya juga mulai jauh dari komunitas orang-orang desa dan aroma kegiatan khas orang-orang desa, lebih tepatnya sengaja menjauhkan diri dari komunitas orang-orang desa. Tidak ada alasan apa-apa kecuali memang terpaksa harus saya lakukan. Terkadang, memang kita tidak perlu alasan khusus untuk melakukan sesuatu. Aroma gotong royong yang dulu pernah saya cium kemudian hilang, kini tercium kembali dengan keharuman yang masih sama. Saya pun, sedemikian rupa berusaha membaur dengan mereka dalam gotong royong. Menggali parit, menebas rumput, bercanda, minum dengan gelas yang sama dan merokok bersama mereka. 

Orang-orang transmigran yang saya ceritakan itu adalah orang-orang jawa yang dulu ditransmigrasikan oleh pemerintah sekitar tahun 80-an. Banyak di antara mereka yang bergotong royong itu adalah orang-orang jawa asli yang dulu ditransmigrankan dan sebagian lagi adalah keturunan, anak, cucu dari mereka yang asli.
Para transmigran tahun 80-an tersebut dibagi dalam beberapa Satuan Pemukiman (SP). Satuan Pemukiman A, B, C dan D yang kemudian terbagi lagi dalam tiga Kecamatan (dulu hanya satu Kecamatan, Kecamatan Sungaililin). Adapun Desa Panca Tunggal, tempat dimana saya gotong royong itu adalah Satuan Pemukiman C5 berada di dalam kawasan Kecamatan Sungaililin. Orang-orang di sana dan sekitarnya lebih suka menyebutnya dengan Desa C5 daripada Desa Panca Tunggal. Saya tidak cukup jeli untuk menanyakan pula seluruh jumlah penduduknya. Baik yang asli transmigran maupun penduduk yang menyusul kemudian beserta keturunannya. Informasi lain yang saya dapati adalah sebagian besar dari penduduknya merupakan petani karet dan sawit.

Menjelang dhuhur, kami berhenti. Istirahat dan ngobrol sebentar lantas masing-masing kembali ke rumahnya. Saya pun kembali ke Kota Palembang dengan menyimpan kerinduan akan warisan nenek moyang Bangsa Timur itu, aroma khas desa transmigran itu dan orang-orang di sana. (Palembang, Februari 2009)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR