Miskin Tekstual dan Miskin Kontekstual

Dalam paham positivisme-materialistik, miskin itu tidak miliki materi atau gampangnya ‘tak punya banyak duit’, tak miliki barang-barang mewah dan barang-barang merek dagang dunia. Era modern, meski perlahan, namun terus menerus mendorong dan memaksa kita untuk berpaham seperti itu. Hingga kemudian kita sendiri menyaksikan kenyataan bahwa sebagian dari kita kelabakan, manakala tak punya uang atau duit.

Paham itu juga mempengaruhi akal pikiran kita dalam melihat realitas sosial. Siapa yang tidak punya uang dan beberapa hal yang saya sebut di atas, diidentifikasikan sebagai orang miskin. Begitu juga sebaliknya, siapa yang punya uang ia adalah orang kaya. Identitas sosial, kaya dan miskin kita identifikasikan melalui kepemilikan kapital. Secara tidak sadar, kerja akal kita sebenarnya telah digiring untuk menciptakan ruang kesenjangan sosial. Apa boleh buat, itulah kacamata yang kita gunakan sekarang.

Duit atau uang dalam perjalanan dialektisnya dengan manusia memang telah mengalami pergeseran, tidak hanya makna tapi juga fungsi. Seseorang merasa harus selalu punya uang, jika tak bisa banyak, sedikit saja jadilah. Uang yang dimiliki bukan diniatkan untuk membeli sesuatu, tapi semata-mata karena ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari tema besar ‘drama sosial’ orang kaya, ketimbang dikembalikan kepada asal muasal fungsinya sebagai alat pertukaran. Ada lagi yang beralasan bahwa ‘ada’nya uang sekadar untuk menenangkan hati. Pergi kemana-mana atau berurusan dengan siapa saja, apa saja, kalau ada uang semua dapat diselesaikan dengan tenang dan damai. Kejujuran sebagai modal berinteraksi dengan manusia lainnya tidak berlaku lagi. Kecakapan untuk menganalisa substansial permasalahan tidak dibutuhkan lagi. Selama ada uang, semua OK. Sebab memang paham positivistik cenderung menolak keterkaitan antara substansi jasmani dan substansi rohani manusia. Akal dan hati tidak didialogkan secara serius, positivistik tidak memberi ruang untuk mensilaturahmikan keduanya, akibatnya manusia kehilangan orientasi hidup dan hilang kesadaran akan ‘dirinya.’ Kehangatan humanisme, yang selama ini menjadi jembatan komunikasi antara sesama, menjadi sesuatu yang sulit kita temukan.

Realitas sehari-hari yang kita dengar dan saksikan menyajikan secara gamblang ‘drama sosial’ semacam itu. Pada giliran selanjutnya, paham positivisme-materialistik membawa kita kepada gaya hidup yang konsumtif. Siapa pun dari kita yang tidak mengikuti gaya hidup ini, pelan namun pasti, akan tersingkir dari riang gembira dan nikmatnya dunia, karena bukan termasuk orang modern yang oleh banyak ahli dinamakan the consumer society. Sebagai orang timur yang identik dengan agama, muncul di kalangan orang-orang kaya gaya hidup baru sebagai masyarakat konsumtif yang saleh. Sebagai orang kaya, dalam penampilannya sehari-hari, selain merasa penting memiliki kartu kredit, mobil mewah, rumah mewah, pembantu, baby sitter dan telepon genggam terbaru. Juga harus menampilkan wajahnya yang ‘timur’ atau saleh, pengalaman hidup kesalehannya. Pilihan paket perjalanan haji, pilihan paket buka puasa bersama, pengajian-pengajian di hotel berbintang dan tampilan kesalehan lainnya. Karenanya jangan heran, ketika menyaksikan seseorang merasa lebih penting menggantungkan tasbih di mobilnya yang mewah ketimbang digunakan secara fungsional untuk berwirid.

Setidaknya, demikian gambaran hari-hari yang sedang kita jalani di era modern ini. Kita sedang diberi pelajaran bahwa sekarang bukan saatnya lagi mengakumulasi materi. Kepemilikan materi atau kapital hanya kita perlukan sebagai bahan peng’kelas’an sosial. Sebab barang-barang dan apapun saja yang kita konsumsi menyimpan makna simbolis, kepemilikan atas barang-barang tertentu menempatkan seseorang pada imajinasi bahwa dirinya adalah bagian dari gaya hidup tertentu. Penulis Amerika, Den de lillo mengatakan bahwa masyarakat yang terjebak dalam imajinasi hidup semacam ini sesungguhnya tidak membeli tapi bermimpi. Anak muda yang berkacamata Oakley atau seorang ibu yang belanja di butik tertentu, mereka tidak sekadar membeli, tetapi yang lebih penting bahwa mereka sebenarnya sedang melakukan ‘identifikasi diri’ dan ‘bermimpi.’

Ironisnya, justru hal ini terjadi pada saat pendidikan sedang berada pada puncaknya. Pada saat akal manusia sudah dapat menguak rahasia-rahasia besar dunia dan peradaban manusia sudah sampai pada puncaknya. Tapi capaian-capaian kemajuan peradaban manusia, ternyata tidak berbanding lurus dengan keluhuran akhlak. Lantas di mana-mana tumbuh kesadaran meski dalam jumlah sangat kecil, bahwa ternyata tujuan pendidikan yang sedianya untuk memanusiakan manusia malah berbalik arah memakan manusia. Karenanya kita juga sering mendengar teriakan ‘kembalikan idealisme pendidikan’, meski kemudian teriaknya tinggal serak sebab tak ada yang sudi mendengar. Tak ada dukungan dari siapa pun sebab memang ‘tidak menghasilkan uang’ dan ‘tak bisa bikin kaya.’ Kita bisa mencandra melalui sedikitnya minat mahasiswa untuk memilih jurusan-jurusan humaniora, yang kita tahu tidak mengorientasikan dirinya pada pekerjaan (uang). Pendek kata, begitu lulus kuliah bisa langsung kerja dapat uang dan kaya. Pendidikan tinggi era kontemporer telah menjadi tangan kanan paham positivisme-materialistik yang justru hanya melahirkan manusia-manusia konsumtif.

Saya takut untuk membayangkan bagaimana nasib dunia kita masa depan, jika ranah pendidikan yang kita percayai sebagai penentu peta sejarah peradaban manusia, sudah sedemikian rupa tergoda oleh paham positivisme-materialistik seperti itu. Tapi demi membaca sejarah manusia, ketakutan saya sedikit mereda sebab manusia dalam peradaban yang bagaimanapun buruknya selalu dapat mencari solusi.

Sebagaimana pernah saya dengar bahwa ilmu pengetahuan, kebijaksanaan yang menjadi falsafah hidup selalu lahir dari keterjepitan manusia dalam meningkahi hidup dan kehidupan. Lebih reda lagi manakala masih ada orang-orang semacam anda, orang-orang yang masih bisa mengajak saya memilah dan memilih bahwa baik haruslah benar dan benar haruslah baik, bahwa tidak mengidentifikasikan miskin dan kaya melalui kepemilikan materi. Sehingga tidak gagal memaknai sabda Rosulullah bahwa ‘kefakiran dekat dengan kekufuran.’ Juga sabdanya ‘meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan fakir, sehingga mereka meminta-minta kepada manusia’. Lebih jauh lagi kita bisa lebih jeli melihat siapa yang sebenarnya meminta-minta kepada manusia. (Palembang ’09)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR