Surat untuk kekasihku


Saya ingin berkirim surat kepadamu, kekasihku. Surat ini bukan apa-apa, sekadar ingin bercerita.

Belasan anak kecil, laki-laki dan perempuan usia lima tahunan kebawah, berlari saling berkejaran mengelilingi kolam renang anak-anak. Jerit dan tawa kecil mereka seolah memenuhi area kolam renang yang didekorasi dengan pita dan balon warna-warni. Belum lagi warna-warni pakaian yang dikenakannya, semakin menambah aura kegembiraan di wajah mereka. Saya sengaja mencari posisi tempat untuk duduk di daerah yang lebih tinggi dan lebih lapang, meski tanpa kursi.

Itu saya lakukan agar pandangan saya dapat mengitari seluruh area kolam renang. Demi menikmati anak-anak kecil yang bermain, tak sadar bibirku mengembang tersenyum, pikiranku pun menerawang jauh ke masa kecil. Saya membayangkan alangkah bahagianya jika masa kecil dulu saya bisa merayakan ulang tahun, pergi ke acara ulang tahun teman, seperti mereka. Mengenakan pakaian baru, memberi kado dan menikmati kue ulang tahun. Saya tersadar ketika terasa bibirku bergerak-gerak mengucapkan kalimat-kalimat itu. Beruntung tak ada orang lain yang melihat, setidaknya demikian anggapan saya.

Kehadiran saya di tempat itu atas ajakan salah seorang sahabat saya yang berprofesi sebagai fotografer. Saya sekadar menemani dan membawakan tas peralatannya, tak lebih dari itu. Sembari menunggu sahabat saya yang jeprat-jepret, saya pun berjalan mengelilingi area kolam renang menikmati sajian kue ulang tahun dan beragam jajanan yang telah disajikan di sudut-sudut lokasi.

Di salah satu sudut itu saya melihat seorang anak kecil menyendiri mengamati anak-anak lain yang bermain di pinggiran kolam renang. Pakaian yang ia kenakan pun lebih sederhana, setidaknya tak sebagus anak-anak lain di tempat itu yang pakaiannya stelan. Ia juga hanya bersendal jepit, tak mengenakan sepatu seperti anak-anak lain. Mengapa ia di sini sendiri? Mengapa ia tidak membaur dengan anak-anak lain? Apakah ia malu? Beragam pertanyaan melintas di kepalaku. Saya menoleh ke kanan dan ke kiri, mata saya mencoba mencari tahu adakah di antara orang tua-orang tua di tempat itu yang nampak sedang mencari anaknya. Rupanya sia-sia, saya hanya melihat orang-orang yang sedang asyik duduk mengobrol sembari makan kue.

Anak kecil itu nampak seperti tak mengharapkan kehadiran saya di dekatnya, ia terlihat ketakutan ketika saya mencoba mendekatinya. Bahkan tak berapa lama kemudian, ia terlihat seperti hendak menangis. Karuan saja, demi melihatnya seperti itu saya pun bingung dan hanya bisa diam. Kemudian tanpa kata-kata saya perlihatkan kepadanya kue yang saya bawa. Saya berharap ia mangangguk dan saya bisa mendekatinya. Tapi rupanya ia bereaksi lain, ia lantas bangkit dari duduknya dan berlari kecil menjauh.

Melihatnya berlari, saya memang tidak berniat hendak menyusulnya. Saya melihat ia berkali-kali menoleh memastikan bahwa saya tidak menyusulnya. Saya hanya mengamatinya dari kejauhan. Ternyata ia mendatangi bapaknya dan terlihat ia menunjuk-nunjuk ke arah saya. Saya lambaikan tangan sembari tersenyum. Sang bapak pun membalas senyum dan lambaian tangan saya. Dari tampilannya saya bisa memastikan bahwa bapak itu adalah penjaga kolam renang.

Pandangan saya pun beralih ke tempat dimana anak-anak ramai bermain. Mata saya fokus ke arah seorang anak lelaki yang mengenakan kaos warna merah berkerah. Di lehernya nampak melingkar kalung rantai lumayan besar. Ke manapun ia berlari, anak-anak lain mengikutinya. Apa pun permainan yang mereka peragakan, ia selalu yang menjadi inisiator. Nampaknya secara alami anak-anak telah mengangkatnya menjadi ketua mereka. Bahkan ketika anak laki-laki itu menceburkan diri ke kolam, pun anak-anak yang segera mengikutinya. Terdengar teriakan larangan dari para pengasuh anak-anak itu.

Para pengasuh itu tak hanya mengkhawatirkan keadaan anak asuhnya, tapi juga khawatir akan kena marah sang majikan, yang nampak terus saja asyik ngobrol. Mereka memang tak perlu khawatir soal anak-anaknya. Mereka sudah membayar pengasuh untuk menjaga anak-anaknya, bahkan tidak menutup kemungkinan mereka pun tak sempat lagi menemani anak-anaknya tidur, terlebih menemani mereka belajar.

Diam-diam saya bersyukur, meski masa kecil saya tidak pernah berkesempatan merayakan ulang tahun dengan menggelar pesta, mengahadiri acara ulang tahun teman ataupun makan kue ulang tahun, tapi saya tidak dibesarkan oleh pengasuh.

Kekasihku...
Saya ingin anak-anak kita lebih mengenal orang tuanya dari pada mengenal pengasuhnya. Saya ingin bagian dari jiwanya adalah ukiran sejarah pendidikan dari apa yang kita ucapkan dan kita kerjakan bersama mereka. (Februari 2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR