EPISODE 180


Dalam sebuah episode perjalanan hidup saya, secara sangat sengaja saya bertemu dan lantas kenal dengan seorang Agustinus Wahyono atau lebih dikenal dengan panggilan Onoy, di sebuah warug kopi dalam arena pameran pembangunan sekitar pertengahan 2008 lalu, juga saling mencatat no Hp.
Saya akan gambarkan sedikit sosok tentangnya. Dinilai dari sisi fisiknya, jelas Onoy sudah tidak masuk kategori apapun, terlebih untuk menjadi seorang peragawan. Berambut gondrong dengan kepala sedikit botak, belum lagi perutnya yang sedikit buncit menambah keyakinan bahwa ia bukanlah termasuk laki-laki ganteng dan sama sekali jauh dari kesan macho (maco atau macho?). Dandanan dan penampilan? Barang kali tidak perlu lagi saya ceritakan panjang lebar, cukup saya menyebut ‘orang gila’ anda pasti lebih pandai membayangkannya dari pada saya. Sikapnya yang juga berbeda dari kebanyakan orang, membuat kawan-kawan saya yang jauh terlebih dahulu mengenalnya, menganggap Onoy sebagai ‘orang gila’. Bicaranya kental sekali aksen Jawa, meskipun ia tidak lahir di Pulau Jawa. Cukup sebagai informasi, ia lahir dan besar di Pulau Timah Bangka Belitung. Tidak pernah serius dan sedikit menjengkelkan bagi sebagian banyak orang, tapi bercanda dan main-mainnya sangat serius, serta tiap sebentar pasti ngakak, “ wakakakaka.....Bajindul”, itulah sedikit gambaran teman saya. Maaf, barangkali lebih tepat bila saya katakan Abang saya, Onoy.
Setelah perkenalan kami di warung kopi itu, kurang lebih dua minggu lamanya, setiap hari disela-sela kesibukan saya sebagai seorang reporter baru, pada sebuah tabloid mingguan, saya menyisakan waktu untuk sekadar ngobrol dan ngopi juga belajar renang tengah malam dengannya. Saya sama sekali tidak untuk mencari tahu apakah ia benar-benar ‘orang gila’ atau ia hanya ‘menggila’. Bagi saya justru karena ada orang gila kita bisa dengan sepenuh hati mengaku waras. Onoy mengaku baru tiba dari Jakarta untuk liburan di kampung halamannya. Selama dua minggu itu pula saya benar-benar berusaha untuk mencoba sebisa mungkin menemani liburannya, membuatnya merasa benar-benar pulang kampung. Di samping itu, saya juga merasa memiliki teman alias ‘tidak sendirian gila’ sebagaimana teman-teman selama ini juga menganggap saya seperti Onoy.
Di sela-sela obrolan-obrolan itulah, selain sebagai ‘tukang gambar’ bangunan, dia juga mengaku sering menulis, puisi, cerpen, essai dan tulisan berbau sastra lainnya, bahkan sudah sering dimuat di banyak media massa, meskipun dia sendiri enggan disebut sebagai penulis. Dia juga menceritakan nasib tulisan-tulisannya yang diboikot oleh salah satu media massa, padahal selama beberapa lama ia sempat menjadi ‘hampir penulis tetap’ karena saking seringnya.
Dari sekadar ngobrol dan ngopi itu saya bisa meyakinkan diri saya, bahwa ternyata dia bukan ‘orang gila’ hanya sikapnya yang ‘berbeda’ dari kebanyakan orang-orang di sekelilingnya. Berbeda itu sama sekali lain pengertiannya dengan gila. Akhirnya, sebelum ia terbang ke Jakarta, ia juga memberikan sebagian kumpulan tulisannya kepada saya dalam bentuk foto kopian, ‘Kenang-kenangan’, katanya. Beberapa hari kemudian saya pun mengikuti jejaknya, pergi. Tapi bukan terbang ke Jakarta melainkan naik kapal ke Pulau Sumatera ke Kota Palembang tepatnya.
Saya merasa perlu menuliskannya sebab, meski hanya dua minggu, Onoy banyak memberikan pelajaran kepada saya tentang banyak hal yang berhubungan dengan menulis lebih dari pelajaran yang saya dapati sebagai seorang reporter pemula. Ia juga yang memperkenalkan saya dengan sejumlah istilah dalam menulis seperti, apa itu Pleyonasme, Peyorasi, Suriealisme, Plot dan lain-lain, yang pada giliran berikutnya juga mempertemukan saya dengan istilah lain, Syfonistis, Fonologi, Proleksem, Anaforis, Akronimisme dan masih banyak lagi. Sampai di sini, anda jangan lantas mengira saya paham dengan istilah-istilah itu, blong!. Selain itu, Onoy juga yang mendorong saya mengenal sejumlah nama satrawan seperti, Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge, Saut Situmorang yang katanya teman dekatnya, Afrizal Malna, Wiji Thukul yang hilang itu, Radhar Panca Dahana, Budhiarto Sambazy, Goenawan Mohammad dengan catatan pinggirnya di Tempo, Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Syu’bah Asa, Amarzan Loebis dan banyak lagi nama-nama yang tidak bisa saya ingat. Atas itu semua ‘tengkyu somat Lik’. Sekali lagi, anda jangan berlebihan menilai saya. Jangankan kenal secara fisik, membaca karya-karya mereka juga belum.
Bagi saya, Onoy ibarat kunci atau password untuk membuka pintu dunia di mana ternyata saya sangat ingin menikmatinya, berlama-lama dan bahkan hidup di dalamnya. Onoy, juga ibarat tikungan 1800 dalam salah satu episode perjalanan hidup saya, yang meluruskan kembali sudut pandang saya serta membuka cakrawala lebih luas dalam cara berpikir saya.
Beberapa lama setelah ia kembali ke Jakarta dan saya ke Kota Palembang, saya sudah tidak pernah tahu lagi khabarnya. Beberapa kali saya mencoba hubungi no Hp nya, namun beberapa kali itu pula saya tidak berhasil. Sejak saat itu saya kira sudah tidak mungkin lagi kontak dengannya.
Kurang lebih tiga bulan berikutnya, Ia tiba-tiba menghubungi saya dan mengatakan akan segera menikah dengan perawan Kalimantan keturunan Filipina. “ Buah kesabaran dari orang gila yang baik hati seperti saya, wakakaka....”, ucapnya dalam telepon. “Saya curiga calon Istrimu itu mungkin kecelakaan mata waktu lihat kamu Lik!”, saya balas dengan guyon pula. Obrolan melalui telepon itu pun berlanjut. Di akhir obrolan, ia menceritakan bahwa sekarang sedang mengumpulkan tulisan-tulisannya dan berencana ingin membukukannya, “ Nanti kalu sudah jadi, kowe tak kirimi, Ndul “, Onoy senang sekali memanggil saya Ndul, mungkin maksudnya Gundul. Padahal ia sendiri sangat tahu kalau rambut saya gondrong. '08

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR