INGIN NIKMAT MENULIS



Jika sedang larut dalam seluk beluk cerita yang dibawanya, seolah kita dibuat enggan beranjak pergi, barang satu detik pun benar-benar kita tidak ingin di pisahkan darinya. Paragrap demi paragrap kita cerna dengan sedemikian teliti. Lembar demi lembar kita singkap dengan penasaran tingkat tinggi, bahkan jengkel manakala ingin membuka satu lembar tapi lembaran berikutnya ikut tersingkap. Kira-kira demikianlah pesona yang ditawarkan oleh sebuah karya cerpen. Meski hanya sebuah karya tulis dan kapan saja bisa dinikmati, namun jika proses pembacaan sempat terhenti sejenak, rasanya menjadi tidak asyik. Maka kemerdekaan seorang pembaca adalah manakala tidak ada sesuatu apapun yang membuatnya terganggu tatkala mendigest teks-teks yang sedang dibacanya.
Rasanya saya tidak cukup hanya acung jempol saja untuk menghaturkan penghargaan luar biasa bagi para penulis yang begitu rupa berhasil menarik, mendorong, mengangkat dan menghempaskan, mengaduk-aduk dan mengobrak-abrik perasaan dan jiwa para pembacanya. Karenanya saya tak puas hanya sekadar menjadi pembaca, ‘saya ingin belajar menulis, apapun yang terjadi’, setidaknya begitulah suara kegeraman saya.
Saya harus belajar membuat cerpen yang menarik, sebagaimana yang sudah banyak saya baca. Tekad itu mendorong saya membeli buku yang saya harapkan akan sangat membantu menjawab kegeraman itu, “Kalimat Efektif;Diksi, Struktur dan Logika” dan dua buku lainnya yang juga saya harapkan tidak sekadar semakin memperkaya kosa kata tapi juga semakin membuat saya penasaran untuk terus berlatih. Namun harapan itu ternyata belum berubah status, faktanya setelah beberapa kali mencoba, saya merasa kemampuan saya segitu-segitu saja alias tidak pernah beranjak naik, barang setengah level pun. Satu tahun bukan waktu singkat untuk belajar. Tetapi cerpen-cerpen yang coba saya buat selalu berhenti di tengah jalan alias tidak pernah mendapatkan endingnya. Salah satunya adalah cerpen berikut :

NASIB PEMULUNG ITU MENGENASKAN (ide pokok)
Hari sudah menunjukkan siang, namun Tono belum mendapatkan apa yang ia cari. Sebagai seorang pemulung, Tono sadar dan paham betul bahwa ia harus berjuang ekstra dan berebut cepat dengan petugas kebersihan kota demi mencukupi kebutuhannya sehari-hari yang dirasakan semakin sulit dan menghimpit. Belum lagi ia mendapatkan apa-apa, siang itu Tono harus terkapar bersimbah darah di tengah jalan raya karena ditabrak oleh seorang pengendara motor tanpa ada yang bersegera untuk menolongnya. Orang-orang lalu lalang begitu saja melewati jalan itu dan orang-orang yang berada di sisi kanan kiri jalan, hanya sekedar menyaksikan adegan mengerikan tersebut tanpa bereaksi apa-apa. Naasnya lagi sang penabrak langsung melarikan diri meninggalkan Tono yang tengah sekarat di tengah jalan itu.
Siang itu juga Tono meregang nyawa, MATI !

Saya selalu merasa kerepotan untuk mengembangkan sebuah ide cerita yang lebih menarik. Padahal, sudah saya bantu dengan bengong, duduk menerawang langit, minum kopi dan merokok, seperti halnya yang saya lihat di film-film, tapi tetap saja. Saya terpaksa harus sepakat dengan salah seorang teman saya (sekadar informasi, teman saya itu belum pernah membuat karya penulisan kecuali makalah dan skripsi), ia mengatakan bahwa sebelum seseorang nikmat menulis, ada satu kenikmatan terlebih dahulu harus dirasakan, yakni nikmat berhayal. Jadi, selama satu tahun masa belajar itu, ternyata kemampuan yang saya dapatkan belum ada apa-apanya bahkan untuk sebatas merasai nikmatnya berhayal sekalipun. Yah, apa boleh buat, ternyata cukup sulit untuk sekadar merasakan nikmat berhayal, terlebih untuk merasakan nikmatnya menulis, sungguh pengakuan yang tidak enak tapi apa boleh buat. Sebab ternyata setelah saya baca ulang, cerpen yang saya buat bukan lagi cerpen (cerita pendek), tapi cersapen (cerita sangat pendek) yang sama sekali tidak memiliki daya pikat.
Yang ini sekadar curhat. Padahal dalam proses belajar itu sudah banyak orang yang saya mintakan pertolongannya mengenai hal ini, Mamaqdudah dan Onoy adalah dua orang diantaranya. Teman saya yang lain bahkan bilang ’Tidak ada teori menulis yang lebih baik dari pada praktik.’
Maka untuk selanjutnya, praktik dan terus praktiklah saya. Namun sebagaimana saya katakan di atas, praktik demi praktik itu belum pernah menemui kata berhasil, bahkan untuk membuat satu judul pun. Lebih parah lagi, keadaan itu teryata berlanjut sampai detik ini. '08
gambar (http://images.akhwatzone.multiply.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR