SAYA DAN MUSIK



Darah memang hanya memiliki satu warna, merah. Tapi kadar kekentalannya berbeda dalam diri seseorang dengan orang lainnya. Demikian pula dengan saya. Kadar kekentalan musik dalam darah saya, mungkin, agak tinggi. Jadi selalulah saya tidak pernah bisa jauh dari musik, meski sekadar menggaruk gitar bolong.
Saya dan musik menjalin persahabatan alami. Apa adanya, lebih khusus lagi kalau sengaja hendak dihubungkan dengan persoalan keuntungan material. Saya menyukainya karena kenetralannya dalam bersuara. Ia tidak berpihak kepada apa-siapa. Ia tidak pernah memaksakan kehendaknya, apalagi sisi kebenarannya, kepada pihak lain. Intinya : ia sangat menyenangkan!
Demokrasitas dan egalitas musik juga tidak pernah melakukan intervensi-intimidasi gaya militerisme. Pada saat bermusik pemain tetap bebas menjadi dirinya sendiri sehingga memungkinkan pemainnya leluasa melakukan improvisasi-inovasi, eksperimentasi dan ijtihad dalam berproses kreatif. Hal tersebut bukan semata-mata demi eksistensialitas musik serta pengayaan warna musik, namun lebih esensial-hakiki yakni penghargaan kepada pemain musik sebagai manusia yang wajib berpikir dan berkreasi dalam kerangka hidup beribadah.
Dunia memang terlalu luas untuk dipahami sendiri, dalam hal ini kita butuh kepada yang di luar diri kita. Hubungan dengan yang ada di luar diri kita, baik manusia, hewan, alam dan benda-benda lain dalam bentuk persahabatan dan permusuhan, intim maupun biasa semakin mempertajam dan memperluas pemahaman kita untuk menggali ilmu Allah yang sungguh maha luas. Dari unsur-unsur yang ada di dalam musik, sebut saja Fitch, Durasi, Intensitas Nada,Timbre dan unsur lainnya, musik pun mengajari saya tentang banyak hal dan aneka sisi, memberi kesadaran akan posisi diri, bagaimana semestinya memperlakukan diri dan segala yang di sekitar diri serta penghargaan terhadap semua perbedaan dan realitas. Karena musik juga, menurut saya, merupakan kehidupan, maka dari ia saya bisa belajar mengenai hidup dan kehidupan.
Di samping itu, musik tidak hanya memiliki bunyi-bunyian tertentu, juga irama atau ritme. Jika salah seorang, semisal Anda, mencoba memainkan ritme sesuka hati, entah untuk menonjolkan diri dan dianggap berbeda dengan yang lain, tidak serta-merta musik akan ngambek bahkan ngamuk. Ia tidak reaktif-agresif. Sikap reaktif-agresif justru berasal dari sejumlah orang, dan terungkap dalam gerutuan, kutukan, umpatan, caci-maki bahkan mengusir. Di wilayah kehidupan lain sikap reaktif-agresif dari sebagian audience bisa anarkhis-fatalistis, semisal melempar sepatu ke muka Anda seperti seorang wartawan yang melempar sepatu ke muka mantan Presiden AS George W. Bush pada akhir 2008.
Jika suatu waktu ada seseorang memainkan musik dengan irama atau nada berbeda, tidak mustahil dianggap sebagai sebuah ’kehilangan’ irama dan nada meskipun tetap saja berpengaruh pada estetika suara sekaligus telinga. Permainan musik yang melenceng ataupun bertendensi sesat memang tidak lantas memenjarakan pemainnya dan distempel “penjahat” sebab pemainnya tetaplah manusia biasa yang dari sononya menyimpan sejumlah potensi untuk berbuat keliru, ngawur, dan salah. Oleh sebab ia manusia, logikanya: ia bisa diajak bicara, dialog, diskusi, diingatkan, dan dicarikan solusi terbaik secara bersama-sama supaya kelak sama-sama tidak tersesat karena kesesatan tidak pandang bulu; siapa saja digoda agar tersesat, bukan saja orang-orang semacam Ahmad “Imam Mahdi” Mossadeg atau Lia “Jibril” Eden tapi juga orang-orang secerdas Anda, apalagi orang sekadar semacam saya ini.
Belum lama ini, ketika melihat saya berulang kali membaca tulisan-tulisan bertema hermenuetik, misalnya karya Schleiermacher, William Dilthey, Emilio Belleti, Gadamer, dan lain sebagainya, teman saya bilang, “Nanti kamu bisa merelatifkan kebenaran tafsir al-Qur’an lho. Jangan baca lagi deh!” Saya mencoba memahami kekhawatiran teman saya itu karena berita-berita dalam kurun satu tahun terakhir sering bermunculan ajaran (dianggap) sesat dan ‘para nabi’-nya pun masuk penjara. Mungkin ia khawatir saya sesat seperti Agus “Satrio Piningit – Sang Gitaris” Solihin dan tidak mau main gitar lagi bersamanya lantas siapa yang mau mengiringinya nanti kalau ia kepingin nyanyi karena tidak ada yang sudi mengiringi suara penggilingan kopi dan selanjutnya bisa berimbas pula saya tidak mau makan nasi dan ia pun ikut mati perlahan karena kelaparan.
(Catatan awal 2008)
gambar (tecxispropindo.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR