IGAUAN PENDEK



Ketika bangun tidur pagi, saya tak berani beranjak ke luar kamar kos. Hari demi hari bertambah mengerikan. Berita koran, televisi, dan realitas sehari-hari membuat saya tak tega meski sekadar melongok ke luar. Kematian disusul kematian. Jerit-tangis bersahutan. Orang miskin berebut santunan. Orang kaya berebut pengakuan dan pemujaan. Para pemimpin berebut pengaruh dan posisi. Setiap golongan berlomba-lomba dalam klaim atas kebenaran disertai kecaman atas keruwetan di sana-sini. Kesemuanya mengakibatkan batin saya tertindas. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak. Keluar dari kamar ini hanya akan menambah penderitaan.
Berbaring sambil melihat laba-laba merajut jaring di langit-langit kamar, lalu bangun sejenak, kemudian berbaring lagi. Kegiatan berulang-ulang ini betul-betul membuat saya hampir gila. Tuhan, begitu besar perhatian-Mu pada negeri kami – negeri impian penuh korupsi, negeri besar dengan pikiran kerdil, negeri surga para mafia.
Di negeri ini seluruh kejujuran sudah tidak berlaku, segala keramahan dienyahkan, segala kesabaran dicemoohkan, segala kebaikan dibuang ke comberan. Ayat-ayat suci dinilai berharga bila mampu memberi rupiah. Kitab suci malah menjelma alat pembenaran atas keculasan diri dan perselingkuhan iman. Tuhan, malaikat, jin, setan, demit, genderuwo dan kuntilanak menjadi barang komoditi bahkan bergengsi mengikuti gaya hidup sebagian besar masyarakat. Kemiskinan dan penderitaan menjadi proyek dan obyek iklan memperkaya diri. Tak ada yang dapat menolong selain yang di sana, Dia-lah Tuhan. Namun syair lagu Ebiet G. Ade itu kelihatannya sudah ketinggalan jaman.
Lantas siapa lagi yang bisa kita percaya di negeri ini? Benarkah kebenaran sudah tak terjamah, ketulusan sudah beralih warna? Bagaimana dengan moralitas lembaga peradilan, lembaga agama, lembaga budaya, lembaga pendidikan, dan seterusnya?
Yang terakhir tadi, lembaga pendidikan atau tepatnya lembaga pendidikan tinggi, barangkali patut dipertanyakan. Konon lembaga pendidikan tinggi dikenal sebagai lembaga pencetak generasi masa depan dengan pikiran-pikiran rasional-brilian dan beradab. Sayangnya, kini mengalami disfungsi atau malapraktik menjadi lembaga pencetak generasi kalengan nan serba instan. Perguruan tinggi tidak sanggup lagi menetaskan manusia-manusia ramah dan sopan. Semua urusan terjerumus dalam emosi tingkat tinggi, bengis, sadis dan anarkis. Kalau tawuran antarpelajar sudah mentradisi, berikutnya mahasiswa berpartisipasi; berkelahi dengan sesama mahasiswa bahkan melibatkan seluruh civitas akademik kampus, rektor, dosen dan lainnya. Saya sendiri tidak paham, apa yang sebenarnya mereka bela secara mati-matian itu. Kebenaran yang bagaimana yang mereka perjuangkan itu. Siapa lagi yang bisa kita percaya?
Nah, sebentar lagi banjir janji disertai topan tipu seperti biasanya setiap musim kampanye tiba. Ada sejumlah pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Sejak PEMILU era ORBA hingga PILEG-PILPRES pasca Reformasi, mengapa rakyat masih saja dibanjiri janji dan ditopani tipu? Apakah rakyat terlanjur biasa dengan situasi selama musim kampanye, ataukah justru mengidap cacat psikososial bernama lupa?
Atau barangkali sebagian pemimpin dan calon pemimpin sudah mengerti kesadaran rakyat terhadap situasi sosial-politik menjelang PILEG dan PILPRES sehingga mereka selalu memanfaatkan suatu pengandaian usang; seandainya mayoritas rakyat belum mengerti dan masih sudi menelan bulat-bulat segala janji palsu dan tipu-tipu. Dengan pengandaian semacam itu mereka masih saja petentang-petenteng sembari mengaku-aku sebagai pemimpin atau calon pemimpin yang layak dipercaya rakyat. Apa mereka itu memang terlalu percaya diri, ataukah justru tidak tahu malu? Jangan tanyakan pada saya sebab saya pasti tidak tahu bahkan saya malah ngeri sampai-sampai saya tidak berani beranjak ke luar kamar kos!
(Catatan akhir 2008)
gambar (http://images.leninius.multiply.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Berhaji dengan Bambang

Panorama Alami Air Terjun Perigi

JEJAK PENYAIR